Sabtu, 09 Januari 2010

Swamedikasi Obat Keras oleh Apoteker, belum punya basis hukum

byI GDE MURRYASTIKA, I MADE ADI SUMANJAYA, dan I M.A.G. WIRASUTA

Pelayanan obat non resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi. Swamedikasi sendiri bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan secara tepat, aman, dan rasional. Oleh sebab itu peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan pengobatan sendiri. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas terbatas (OBT) dan obat bebas (OB).

Dalam prakteknya, apoteker sering menyalahgunakan haknya dengan melakukan swamedikasi obat keras non OWA. Salah satu yang sering dijual adalah obat-obatan antibiotik. Apoteker dan masyarakat sendiri beranggapan antibiotik merupakan obat yang sudah lumrah dan aman-aman saja dikonsumsi, meskipun tanpa resep dokter. Padahal dalam kemasan antibiotik itu sendiri sudah jelas terlihat tanda huruk K dalam lingkaran merah yang menandakkan itu merupakan obat keras yang tidak boleh diperjualbelikan dengan bebas. Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter, memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang mengandung hormon (obat diabetes, obat penenang, dan lain-lain). Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan mematikan.

Hal ini akan menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan penggunaannya. Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi tanpa memperhatikan untung semata.

Dilihat dari segi hukum, pemerintah sudah dengan jelas embuat berbagai peraturan dimulai dari Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Pemerintah hingga Undang-undang untuk mengatur penyerahan obat yang dapat diserahkan tanpa resep. Peraturan Menteri Kesehatan No: 919/MENKES/PER/X/1993 tentang obat yang dapat diserahkan tanpa resep. Dalam Peraturan tersebut jelas disebutkan pada pasal 2, kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep diantaranya; tidak dikontraindikasikan penggunaanya pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun, pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit, penggunaanya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, penggunaanya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di indonesia dan obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Untuk memantapkan dan menegaskan pelayanan swamedikasi, pemerintah juga menetapkan jenis obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dengan membuat beberapa SK diantaranya: SK Menteri No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang obat wajib apotek. Obat-obat yang terdaftar pada lampiran SK tersebut digolongkan menjadi obat wajib apotek No. 1 yang selanjutnya disebut OWA No. 1. Karena perkembangan bidang farmasi yang menyangkut khasiat dan keamanan obat maka dipandang perlu untuk ditetapkan daftar OWA No.2 sebagai revisi dari daftar OWA sebelumnya. Daftar OWA No. 2 ini kemudian dilampirkan pada keputusan menteri kesehatan No. 924/MENKES/PER/X/1993. Dari peraturan di atas dengan jelas diterangkan bahwa seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras tanpa resep dokter atau swamedikasi obat keras apabila obat yang diserahkan merupakan obat keras yang termasuk dalam OWA.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian merupakan undang-undang terbaru di dunia kefarmasian yang mengatur pekerjaan kefarmasian yang dibenarkan oleh hukum. Tujuan pemerintah membuat UU ini salah satunya adalah untuk memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian. Melihat apa yang terjadi di lapangan tentunya Apotek telah lalai dalam menerapkan UU ini. Penyerahan obat keras tanpa resep seperti halnya antibiotik tentunya telah melanggar aturan pemerintah dalam upaya melindungi pasien dalam memperoleh sediaan kefarmasian.

Dalam PP 51 tahun 2009 pasal 24 huruf c, dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan. Secara tidak langsung pada pasal ini dijelaskan seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras dengan resep dokter. Swamedikasi obat keras non OWA di apotek dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran hukum PP 51 th 2009..

Pelanggaran hukum yang dilakukan tidak hanya sebatas pada PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, tetapi juga terhadap Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Praktek swamedikasi obat keras akan bertetangan dengan hukum diatas, jika tidak dilakukan oleh apoteker di apotek yang dibenarkan oleh peraturan hukum yang berlaku di Indonesia hanya swamedikasi obat keras yang termasuk Obat Wajib Apotek.

Lalu kenapa hal ini masih kerap terjadi?. Dalam UU kesehatan terbaru tahun 2009 disebutkan pemrintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran ssediaan farmasi. Namun apakah semua itu salah pemrintah?. Sebagai masyarakat sudah hendaknya kita lebih cerdas dalam membeli dan menerima sesuatu. Kita hendaknya mengetahui obat-obatan yang mana yang memang dapat dibeli dengan bebas di Apotek dan mana yang tidak. Jika memang melanggar hukum, sudah seharusnya kita melaporkan hal tersebut ke pihak yang berwenang, misalnya ke BPOM. Sehingga peran aktif masyarakat dalam penegakan hukum sangat diperlukan.

Diperlukan landasan hukum yang kuat bagi apoteker dalam pelayanan praktek swamedikasi, terutama dengan menggunakan obat G. Sebaiknya apoteker jangan terjebak dengan prescribing dengan ketentuan swamedikasi, atau OWA. Prescribing atau peresepan adalah kompetensi dokter. Kita hendak menjungjung tinggi pemisahan pekerjaan kefarmasian dan kedokteran yang telah dipraktekan oleh si Kembar Damian dan Cosmain, dan sejak raja Frederick-Hanover di Jerman pekerjaan ini telah dipisahkan berdasarkan ketentuan UU.

17 komentar:

  1. saya tidak mengerti bagaimana harus memulai bicara terhadap hal ini. tetapi yang jelas, bila apoteker memahami kedudukannya sebaga profesional yang memihak kepentingan masyarakat, swamedikasi sudah berarti berlandasan hukum. swamedikasi adalah usaha untuk mengatasi permasalahannya yang terkait kesehatan, yang mana bisa dengan bantuan orang lain termasuk apoteker atau tidak. swamedikasi bisa dengan mengunakan obat atau OT atau juga yang lain semisal hanya sebatas informasi.

    permasalahan yang ada bukan landasan hukum untuk swamedikasi, tetapi pemahaman apoteker terhadap swamedikasi itu sendiri. klu apoteker memahami kompetensinya, tulisan ini mungkin tiak perlu dimuat. bisa anda lihat peraturan yang lain tentang obat bebas sampai OWA, disini jelas2 apoteker mempunyai landasan hukum mengenai swamedikasi. bila ternyata dalam swamedikasi ada yang menggunakan obat diluar OWA ini permasalahan lain, bukan masalah landasan hukum bagi swamedekasi.

    tolonglah, bia anda menulis jangan sampai menimbulkan penafsiran yang berbeda pada sisi pelayanan yang bisa menimbulkan dampak yang kurang baik pada sisi profesi. saya menyadari bila jam terbang anda dalam melayani masyarakat secara langsung masih kalah dengan saya, tetapi janganlah membuat opini yang keliru terhadap praktek profesi.

    pendapat saya swamedikasi sudah berlandaskan hukum yang kuat. permasalahan yang ada adalah meningkatkan kompetensi apoteker didalam swamedikasi agar pada proses swamedikasi masyarakat tidak dirugikan. mungkin anda bisa juga membaca tulisan saya mengenai swamedikasi http://hisfarma.blogspot.com/2010/01/uji-kompetensi-apoteker-terkait.html

    BalasHapus
  2. Yth HisFarma Indonesia.
    Saya mengucapkan terimakasih atas tanggapan yang diberikan pada tulisan kami ini. Pada tulisan ini kami bukan bermaksud mendudukan kami sebagai ahli hukum, kami hanya memandang hirarki hukum yang ada dimana Permenkes, memiliki kekuatan hukum yang lebih rendah dari PP. Dengan diterbitkanya PP 51 thn 2009, dimana dalam PP tsb diatur bahwa Apoteker tidak boleh menyerahkan obat keras tanpa resep Dokter. Berdasarkan argumentasi di atas tentunya PerMenKes akan gugur, oleh sebab itu OWA tidak ada dasarnya.
    Maksud kami menulis artikel ini adalah ingin mengajak rekan colega apoteker dan dokter untuk menjalankan peraturan dan perudangan yang ada khususnya masalah penyediaan obat untuk kepentingan kesehatan pasien (masyarakat secara keseluruhan). Dimana sejak Raja Frederik di Hanover, telah diatur bahwa profesi dokter dan apoteker dipisahkan kewenangannya, Dokter mendiagnose dan menuliskan resep, kemudian apoteker melakukan dispensing atas permintaan resep.
    Namun apa yang terjadi sekarang di Indonesia. Masing-masing profesi mencari pembenaran sendiri-sendiri, yang ujung-ujungnya Duit (UUD). Pada tulisan ini dengan menyedepankan kepentingan masyarakat secara keseluruhan atas keselamatan akan pengobatan, kami mengajak kedua profesi untuk menpraktekkan profesinya sesuai dengan aturan. jika tidak dari masing-masing membenahi maka kita selalu akan saling tumpang tinduh.
    salam

    BalasHapus
  3. Oleh: Said Assadad,Apt

    Saya setuju akan pendapat kedua rekan saya, dua-duanya menginginkan perbaikan dalam pelayanan kepada masyarakat, saya sebagai apoketer merasakan sangat memerlukan payung hukum dalam menjalani profesi saya sebagai apoteker, khususnya di bidang distribusi obat, apalagi berkaitan dengan distribusi obat keras.,Agar tidak ada rekan sejawat apoketer yg di zalimi oleh pihak-pihak tertentu, berkaitan dengan pelanggaran undang-undang,baik itu pidana ataupun administrative, karena kalau melihat realitas saat ini maka mungkin hampir seluruh apotek yg ada di indonesia melanggar aturan perundang-undangan yg ada.
    Kepada Pak I M.A.G. WIRASUTA, Mohon agar lebih sering mempostkan hal-hal yang berkaitan dengan landasan hukum pratek kefarmasian khususnya dibidang distribusi obat

    BalasHapus
  4. Kalau obat darah tinggi dan obat diabetes misalnya? harus selalu pake resep tidak? terima kasih atas penjelasannya, saya tidak paham tentang farmasi, padahal saya sering beliin obat buat ibu saya.
    Terima kasih (:

    BalasHapus
  5. Obat Penurun tekanan darah dan diabetes, umumnya diperlukan seumur hidup, jika kondisi sudah memerlukan obat seperti itu. SEbaiknya tanyakan kepada dokter Keluarga Ibu anda, hal tersebut.
    Datang ke dokter tidak semata-mata untuk mendpatkan resep melainkan yang paling penting adalah melakukann kontrok kondisi kesehatan Ibu anda. Keperluan penurun tinggi didasari atas test tensi darah demikin juga penurun kadar gula darah, didasarkan atas hasil tes gula.

    Pemakaian obat penurun gula darah tanpa test kadar gula memberikan resiko bahaya kadar gula rendah (hipoglikemi) kondisi ini sangat berbahaya.

    salam

    BalasHapus
  6. PP 51 diberlakukan paling lambat September 2011
    Rekan sejawat apoteker, berhati-hati di apotek. Sebab para LSM sudah menyiapkan gerakannya untuk melihat kesiapan sejawat untuk mengamalkan PP tersebut
    salam

    BalasHapus
  7. Numpang Koment ni...
    Ancamannya Lumayan Menakutkan... hehehe...
    Asal rekan dokter juga bisa dengan lapang dada menerima PP 51, utamanya pasal 24 huruf b, yang mungkin bapak lupa bahas, atau pura-pura lupa...:)
    "APOTEKER dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien"
    Ada sedikit pertanyaan ni pak soal pasal ini, kenapa dokter harus keberatan dengan pasal ini...? Semoga alasannya bukan karena dengan pasal ini dokter tidak bisa "Deal" lagi dengan Perusahaan Obat tertentu... hehehe...

    Terus yang mengenai OWA, OBT, apalagi OB, semoga bapak sebalum menulis artikel ini sudah membaca Peraturannya.

    Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 347/ MenKes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotik, mendefenisikan Obat Wajib Apotek (OWA) yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker kepada pasien di Apotik tanpa resep dokter. Yang pada diktum ke dua pada putusan, dijelaskan bahwa Obat yang termasuk dalam OBAT WAJIB APOTIK ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

    So disini bapak bisa liat sendiri, kalo OWA itu memang obat keras, tapi bisa diserahkan oleh Apoteker. Lebih jelasnya bapak bisa cari sendiri referensinya, gak cukup waktu dan ruang untuk menjelaskannya...

    Terus masalah hirarki Perundang-undangan, Bapak boleh saja memutar balikkan nya dengan menggunakan Prinsip "Lex Superiore Derogat Legi Inferiori" (undang-undang yang lebih tinggi, mengesampingkan undang-undang yang dibawahnya) tapi jangan seenaknya juga, dalam per undang undangan juga dikenal "Lex Specialis derogat legi generalis" (Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum). Kalo dilihat disini, KepMenkes memang lebih inferior dari pada PP, tapi yang diatur dalam Kepmenkes diatas bersifat Khusus. Selain Itu Kepmenkes juga Merupakan Aturan TEKNIS PELAKSANAAN dari Undang-Undang Maupun PP, Sama halnya dengan PP Merupakan Aturan Teknis Pelaksanaan UU. dan seterusnya....
    Salam Manis Dari Rekan SEJAWAT... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Maaf Sdr-ku ... sy hanya mau meluruskan kesalahpahaman Anda terhadap prinsip2 ilmu hukum. Sebenarnya prinsip "Lex specilis derogat legi generalis" itu hanya berlaku untuk memperbandingkan 2 atau lebih peraturan yang hirarkinya sama (UU vs UU, PP vs PP, Permenkes vs Permenkes atau Permen lainnya). Jadi prinsip "Lex superior derogat legi inferiori" lebih didahulukan daripada prinsip "Lex specialis derogat legi generalis".

      Bila Anda menganggap setiap peraturan yg lebih inferior merupakan peraturan yg bersifat khusus ... lalu berarti bisa mengesampingkan peraturan di atasnya? Bila mengikuti alur berpikir Anda maka pada puncaknya UUD 1945 menjadi tak punya kekuatan apa-apa. Kacau kan ...?

      Hapus
  8. Dear reakn sejawat, terimkasih atas komennya.
    Memang benar banyak masalah hukum dan peraturan yang belum dibahas dalam tulisan ini. Tulisan ini adalah tugas mahasiswa S1 Farmasi yang tertarik untuk mengambil bidang kuliah farmasi forensik. Tujuan dari penulisan tugas ini adalah mengajak calon apotker untuk mulai peduli dengan masalah hukum yang ada.

    Seperti yang saudara sejawat sampaikan tenang Pasal 24 PP 51, masalah penggantian obat. Jika kita melihat dengan kaca mata kerjasama Farma Industri dengan Dokter? Hal ini sdh diatur dan tidak dibenarkan secara hukum. Mengenai penyimpangan pada praktek dilapangan, itu masalahnya bukan PerUU, melainkan personalnya antara kedua bidang.
    Yang menjadi masalah pada penggantian obat meminta Ijin dokter, dimana yang paling tau dengan diagnose pasien adalah dokter. Oleh sebab itu logikanya dokter yang paling tau secara real kebutuhan obat pasien dalam kaitan pengobatan pasien.
    Jika penggantian sebatas merek dagang dengan senyawa kimia obat yang sama, dapat disetujui oleh pasien. Hal ini diasumsikan setiap preparat obat dengan bahan kimia obat yang sama akan memberi efek yang sama. Hal yang berbeda jika kita mengusulkan obat dengan klas terapi yang sama, tentunya kita sebagai apoteker wajib hukumnya untuk memohon ijin dokter dan persetujuan dokter, sebab pengobatan tidak hanya pada masalah pemberian obat kepada pasien. Namun dari kacamata forensik farmasi, didalamnya ada masalah tanggungjawab legal yang harus ditanggung oleh setiap profesi kesehatan yang terlibat dalam proses pengobatan. Hal ini erat kaitanya dengan keamanan pasien dan kepastian hukum yang terkait jika terjadi sesuatu dengan pasien.
    Masalah lain dalam penggantian obat dengan nama generik yang dama adalah: jaminan yang diberikan oleh perusahan obat, bahwa obat yang diganti memiliki ketersediaan hayati yang sama, sehingga apoteker di unit pelayanan dapat menjamin, penggantian obat akan memberikan efek farmakologi yang sama. Sampai saat ini kita belum memiliki panduan buku yang menyatakan sediaan obat dengan kesetaran hayati yang sama.
    salam

    BalasHapus
  9. Di Kota Semarang ada apoteker yang menjalankan UU Kesehatan, menjalankan PP 51 dan melaksanakan tugas sesuai dengan kode etik apoteker yang dibenarkan oleh majelis kode etik daerah IAI Jawa Tengah. tetap saja di kriminalisasi oleh oknum polisi (padahal pada waktu gelar perkara di polda jateng, dinyatakan tidak ada unsur pidana dan memerintahkan kepada penyidik untuk di hentikan alias SP3) tapi karena faktor XXX dari pemilik apotek yang terus mendorong polisi untuk menjadikan P21, akhirnya sekarang udah sampai ke pengadilan negeri Semarang. Ini merupakan preseden buruk bagi profesi apoteker. Disatu sisi ingin melaksanakan bunyi undang-undang untuk mengamankan Sediaan Narkotika dan Psikotropika ke Dinas Kesehatan dari penyalahgunaan pemilik sarana apotek, malah dituduh mencuri dan menggelapkan barang milik apotek (Padahal sediaan Narkotika dan Psikotropika tersebut adalah menjadi kewenangan dan kewajibannya untuk mengamankan) Disisi lain kalau sediaan Narkotika dan Psikotropika itu tetap berada di apotek (Apotek tesebut sudah ditutup dan di kembalikan SIA nya karena banyak pelanggaran dari Pemilik Sarana Apotek) maka apotekernya juga lah yang kena sanksi dari Undang-undang. Maka apapun yang dilakukan oleh apoteker akan menjadi salah. Bagaikan makan buah simalakama. apalagi kalau Pengadilan memutus bersalah, maka selamanya profesi apoteker akan dikebiri dan menjadi kuli obat yang harus tunduk dan patuh apapun yang dilakukan oleh PSA yang berkuasa penuh atas kefarmasian. (Karena keputusan pengadilan berikutnya akan mengacu pada perkara yang sama pada perkara sebelumnya). Semoga Profesi Apoteker masih kompak dan mempertahankan kewibawaannya dengan memberikan bantuan advokasi riil kepada sejawat. Semoga dengan semangat kebersamaan dan bersama-sama menggalang kekuatan dan menggalang opini di media, maka kewibawaan dan jati diri apoteker akan tetap diperhitungkan dan kedepan profesi apoteker akan tenang dalam menjalankan tugas mulia sebagai apoteker. Semoga apoteker yang lagi diuji oleh yang maha Kuasa diberi kekuatan lahir dan batin dan semoga pengadilan akan memutus bebas murni. amin..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau tidak salah mengerti duduk masalahnya, APA mengambil sediaan narkotik yang ada di Apotek, dengan alasan SIA APA sudah dicabut. Menurut APA, sediaan narkotik menjadi wewenang dan tanggung jawab APA, sehingga APA mengabil sediaan narkotik ini? mohon penjelasannya

      Hapus
    2. Kalau tdk salah karena APA tahu PSA menyalahgunakan narkotik psikotropik, APA lalu mengamankan sediaanya pak, lalu dituntut mencuri oleh PSA dan APA dihukum penjara, seandainya bpk dimasukkan dlm saksi ahli, mungkin keputusan akan lbh adil ya pak?

      Hapus
  10. Menurut saya, artikel di atas menarik sekali bahwa segala tindakan dlm pemberian obat keras selain daftar OWA tdk ada perlindungan hukum, dan sayangnya hampir semua apoteker tdk sadar akan hal ini..

    BalasHapus
  11. Duduk perkara kasusnya hanya sedikit yg bisa diterangkan, yang bisa saya tangkap dari crita diatas :
    APA ijinnya sdh dicabut, sehingga secara hukum APA sdh tidak punya wewenang untuk menguasai sediaan narkotik tsb. Yang dilakukan oleh APA harusnya melaporkan kejadian tsb ( sediaan narkotik tanpa pengawasan APA ) ke BPOM , shg BPOM yg mengamankannya bukan malah amankan sendiri yg tentu ada konsekuensi hukum atas tindakannya apabila PSA keberatan, karena secara perdata sediaan narkotik itu adalah miliknya ( pemodal). Malahan klo PSA menguasai sediaan narkotik tanpa ijin bisa dilaporkan karna melanggar UU Narkotika dan psikotropika

    BalasHapus
  12. ** BANJIR BANJIR BANJIR UANG DI MEJA **
    VIPbandarQ - YOUR No #1 BandarQ Online Indonesia
    ----------------------------------------------
    Menyediakan 7 Jenis Permainan TerFAVORIT
    BANDAR Q | ADU Q | DOMINO QQ | POKER | CAPSA SUSUN | Bandar Poker | Sakong (New Game) ----------------------------------------------
    Di Dukung 5 Bank Ternama di INDONESIA
    BCA - MANDIRI - BRI - BNI - DANAMON
    ----------------------------------------------
    Bonus Terbesar di VIPbandarQ
    1. Bonus Refferal TANPA SYARAT
    2. Bonus Rolligan TIAP MINGGU
    ----------------------------------------------
    Selalu Ada Kejutan Untuk Member VIPBANDARQ
    ----------------------------------------------
    Gabung Sekarang Juga dan Raih Kemenangan Puluhan Juta Setiap Hari
    CS ONLINE 24/7
    BBM : 55AB0E6C
    INSTAGRAM : VIPBANDARQORG
    SKYPE : VIPBANDARQ
    FACEBOOK : VIPBANDARQ
    www. VIPBANDARQ. org

    BalasHapus