Jumat, 08 Januari 2010

KERUGIAN EKONOMI AKIBAT PEREDARAN OBAT PALSU DI DINSONESIA SERTA UPAYA APOTEKER DALAM MENEKAN PEREDARAN OBAT PALSU

By I.B. Raditya Eka Putra, Ni Putu Eny Kurniati, I M.A.G. Wirasauta

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih berimbas pula pada meningkatnya kebutuhan masyarakat dari hari ke hari. Kesehatan adalah salah satu kebutuhan masyarakat yang harus diberikan pemerintah kepada rakyatnya. Hal ini dikarenakan kesehatan adalah salah satu unsur kesejahteraan umum yang memang berhak diperoleh masyarakat.
Selama ini pemerintah telah memberikan pelayanan kepada masyarakat di bidang kesehatan. Pelayanan yang telah diberikan berupa pengawasan terhadap praktek kedokteran dan pembangunan sarana kesehatan seperti rumah sakit, balai pengobatan dan lain-lain. Obat juga salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang harus diberikan pemerintah. Disamping itu, dari segi perekonomian, obat termasuk salah satu produk industri farmasi yang perlu diberikan pengawasan. Pentingnya industri farmasi dalam menunjang perekonomian Indonesia dapat dilihat dari nilai ekspor obat yang telah dicapai.
Saat ini konsumsi masyarakat terhadap produk obat, kosmetik, dan alat kesehatan setiap tahunnya cenderung meningkat. Gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat Indonesia kini telah berubah menjadi sangat konsumtif. Hal ini juga didukung dengan semakin gencarnya iklan dan promosi produk obat-obatan dan kosmetika di berbagai media. Akan tetapi masyarakat sendiri belum mampu memilah-milah dengan tepat tentang produk obat atau kosmetik mana yang aman, tepat dan sesuai untuk digunakan. Hal ini dikarenakan pengetahuan masyarakat tentang obat-obatan dan kosmetika masih rendah. Masyarakat masih bingung dalam membedakan produk mana yang termasuk obat dan produk mana yang termasuk kosmetika. Mengapa bisa demikian? Mengapa masyarakat masih bingung? Apa masyarakat belum mendapatkan informasi yang lengkap mengenai produk obat-obatan dan kosmetika? Hal inilah yang dimanfaatkan oleh para produsen obat ataupun kosmetika palsu untuk memproduksi dan memperdagangkan obat-obatan palsu di Indonesia.
Masyarakat memiliki pandangan bahwa obat merupakan produk sosial yang harganya harus murah dan industri farmasi tidak boleh mengeruk keuntungan yang banyak dari produk obat-obatan tersebut, namun harus tetap berkualitas. Walaupun masyarakat telah mengetahui bahwa belakangan ini semakin banyak produk obat-obatan dan kosmetika yang beredar di pasaran ditemukan palsu, namun masyarakat tidak mengetahui cara untuk membedakan antara produk obat palsu dengan obat asli.
Pola pemalsuan obat pun berbeda-beda setiap tahunnya. Para produsen obat palsu melakukan pemalsuan obat-obatan dengan mengganti bahan aktif produk obat asli dengan zat kimia yang harganya jauh lebih murah. Namun mereka tidak mengetahui dengan pasti bahwa zat kimia yang mereka pergunakan tersebut kemungkinan dapat mengakibatkan kematian bagi yang meminumnya.
Bahkan tidak hanya obat dan kosmetika palsu yang dijual di pasaran, namun obat-obatan ilegal produk luar negeri dan obat keras pun juga banyak yang dijual secara bebas di masyarakat. Obat impor ilegal yang masuk ke Indonesia ini berasal dari India, Pakistan, Thailand, Yunani, Swiss, Malaysia dan Spanyol. Di pasaran, obat impor ilegal tersebut dijual dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga obat generik yang asli. Tidak hanya itu obat palsu yang beredar di masyarakat pun ada juga yang berasal dari obat impor ilegal tersebut yang tidak terdaftar dan tidak memiliki izin edar dari BPOM.
Seiring majunya teknologi saat ini, para pemalsu obat kini mengganti senyawa aktif obat asli dengan zat kimia yang tidak membahayakan nyawa pasien secara langsung. Sebagai contoh, dalam membuat sirup antibiotika, para pemalsu obat sering mengganti antibiotika yang seharusnya dengan vitamin. Selain itu, para pemalsu obat pun kini sering menggunakan bahan baku yang sama dengan aslinya namun kadar yang digunakan lebih rendah dari yang seharusnya.
Para pemalsu obat umumnya memalsukan obat-obatan yang terkenal dan laku di pasaran, seperti antibiotik, analgesik, antihistamin dan obat flu dan batuk. Tidak hanya itu, para pemalsu obat pun juga memalsukan obat yang wajib dikonsumsi pasien secara rutin dalam jangka panjang seperti antidiabetes, antihipertensi, obat kuat (aphrodisiac), dan obat pelangsing tubuh. Akan tetapi obat-obatan yang peredarannya dibatasi oleh pemerintah namun ditujukan untuk pasien penyakit kronis dimana penderitanya harus bergantung seumur hidupnya pada obat-obatan tersebut seperti golongan psikotropika untuk pasien penyakit kanker. Bahkan para pemalsu obat pun juga memalsukan produk-produk sediaan kefarmasian yang ditujukan untuk pasien gawat darurat atau yang harus dirawat intensif seperti obat injeksi dalam bentuk ampul, vial ataupun infus. Kini pasti muncul sebuah pertanyaan di benak kita, darimanakah para pemalsu obat tersebut mendapatkan bahan baku obat-obatan tersebut dengan mudahnya?
Selain bahan aktif obat yang sering dipalsukan, para pemalsu obat pun kini juga telah mampu memalsukan kemasan obat asli. Banyak kemasan obat palsu menyerupai atau mirip dengan kemasan obat asli, baik dari segi botol, cap, warna kapsul, warna tablet, ampul, dan vial. Pemalsuan ini dapat terjadi karena didukung dengan semakin berkembangnya industri cetak, sistem komputerisasi serta scanner, maupun teknik hologram yang sangat membantu para pemalsu obat dalam memuluskan tindakan ilegal ini. Tidak hanya itu, para pemalsu obat pun kini dapat dengan mudah membeli ataupun membuat mesin cetak tablet secara sederhana di berbagai tempat dengan akurasi yang cukup baik. Hal inilah yang menyebabkan semakin sulitnya membedakan penampilan antara obat palsu dengan obat asli.
Maraknya peredaran obat palsu ini tentunya telah mengakibatkan negara mengalami kerugian yang sangat besar baik secara finansial, secara ekonomi dan kesehatan. Namun seberapa besar obat-obatan palsu telah beredar di Indonesia dan seberapa besar kerugian yang telah dialami oleh pemerintah setiap tahunnya akibat maraknya peredaran obat palsu saat ini?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 10% obat yang beredar di seluruh dunia merupakan obat palsu. Di beberapa negara berkembang lain, seperti Afrika, peredaran obat palsu diperkirakan mencapai 40%. Menurut laporan United States Trade Representative (USTR) pada tahun 2008 sekitar 25% obat yang beredar di Indonesia adalah obat palsu. Tanpa kita sadari, Indonesia kini termasuk daerah termasuk daerah epidemik peredaran obat palsu di Asia Tenggara. Apakah kita harus berbangga dengan hal ini atau hanya akan berprihatin saja tanpa melakukan upaya apapun untuk menekan peredaran obat palsu ini?
WHO (World Health Organization) juga memperkirakan jumlah penjualan obat palsu di dunia setiap tahunnya dapat mencapai 35 miliar-40 miliar dolar AS dan diperkirakan pada tahun 2010 nilai bisnis peredaran obat palsu di dunia bisa mencapai 75 miliar dolar AS. International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) memperkirakan akibat peredaran obat palsu yang kian marak di Indonesia, industri farmasi nasional dirugikan hingga mencapai 500 juta dolar AS. Di Indonesia sendiri tidak kurang dari 1.800 jenis obat palsu bebas telah beredar dengan omzet perdagangan obat palsu tersebut ditaksir hingga mencapai 30 triliun rupiah. Angka tersebut dapat disetarakan dengan nilai penjualan 30 perusahaan farmasi yang berukuran sedang di Indonesia. Kerugian sebesar itupun juga bisa diartikan hilangnya kesempatan kerja bagi sekitar 6 ribu pekerja Indonesia di sektor farmasi. Melihat besarnya kerugian yang diakibatkan oleh peredaran obat palsu ini, apakah para apoteker di Indonesia akan tetap berpangku tangan dan pura-pura untuk tidak tahu?
Karena kebutuhan masyarakat akan obat sangat tinggi, para pemalsu obat pun melihat hal ini sebagai peluang bisnis yang menggiurkan dan mampu memberikan keuntungan namun dengan resiko yang relatif minim. Bila kita hitung laba ruginya, tercatat bahwa jumlah konsumsi obat di Indonesia sekitar Rp 25 triliun per tahun. Apabila diasumsikan sekitar 30-40 % obat yang beredar tersebut adalah obat palsu, maka omzet bisnis para sindikat pemalsu obat dan perdagangan obat palsu ini dapat mencapai Rp 7,5 triliun-10 triliun per tahun. Jumlah ini melebihi kerugian negara yang diakibatkan oleh penyaluran dana bailout Bank Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Mengapa pemerintah masih menutup mata terhadap peredaran obat palsu ini?
Dalam peraturan yang terbaru pada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Pasal 196 menyatakan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dapat dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan didenda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Pasal 197 menyatakan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Dari sanksi-sanksi yang terdapat dalam undang-undang ini dapat kita nilai sendiri bahwa sanksi yang dikenakan kepada para pemalsu dan pengedar obat palsu masih sangat ringan dan sangat kecil nilainya jika dibandingkan dengan jumlah keuntungan yang diperoleh sebelumnya oleh para pemalsu dan pengedar obat-obatan.
Kian maraknya peredaran obat palsu ini dikarenakan para pengedar obat palsu dapat mengambil celah untuk masuk ke dalam sistem pendistribusian obat. Di Indonesia terdapat 196 pabrik obat, jumlah distributornya (Pedagang Besar Farmasi) ada sebanyak 2.250. Hal ini berarti 1 pabrik obat rata-rata berhadapan dengan 11 distributor, ditambah lagi 1 distributor (PBF) berhadapan dengan 2 sampai 3 apotek. Berdasarkan regulasi pemerintah, setiap pabrik obat dalam mendistribusikan produk obatnya harus menggunakan jalur PBF. Saat ini jumlah distributor obat sudah mencapai 2.250 distributor. Sedangkan jumlah retailernya sekitar 5.695 apotek dan 5.513 toko obat – besar dan kecil. Mata rantai distribusi obat-obatan setidaknya melibatkan delapan titik sebelum obat tersebut berada di tangan konsumen. Kedelapan titik tersebut dimulai dari pabrikan, transportasi dari pabrik ke bagian pengambilan dan pengepakan (picking and packing), di bagian pengambilan dan pengepakan itu sendiri, pusat distribusi obat, transportasi dari pusat distribusi ke distributor (wholesaler), whole saler itu sendiri, pengecer (retailer), outlet penjualan (point of sale) baru obat tersebut sampai di tangan konsumen. Jalur distribusi obat yang tidak beres dan sangat rumit ini menyebabkan harga obat menjadi melambung tinggi saat obat tersebut sampai di tangan konsumen. Hal ini jelas-jelas telah merugikan konsumen dari segi kesehatan dan biaya. Pasien tidak sembuh-sembuh karena membeli obat palsu dan biaya habis percuma.
Lemahnya sistem penegakan hukum di Indonesia serta sanksi hukuman yang sangat meringankan para pemalsu dan pengedar obat palsu ini tidak akan memberikan efek jera bagi para pemalsu dan pengedar obat yang tertangkap. Terbukti dari tahun 2003 BPOM menemukan sebanyak 268 kasus pelanggaran obat dan diteruskan ke kepolisian, namun tidak semua kasus tersebut bisa dibawa ke meja hijau. Padahal pelanggaran yang ditemukan BPOM itu meliputi pelanggaran peredaran obat keras di sarana yang tidak resmi (toko obat), obat palsu serta obat tanpa izin edar. Penyebabnya penelusuran kasus tersebut hanya baru bisa menyentuh pengedar atau penjual eceran, sedangkan bandar, pengimpor maupun produsen pemalsu obat sulit diketahui dan ditangkap karena mereka menggunakan sistem sel dalam pendistribusian obat palsu.
Melihat fakta-fakta tersebut, apakah pemerintah lebih memfokuskan penyelesaian kasus Bank Century saja? Bagaimana dengan keselamatan konsumen (pasien) yang mengkonsumsi obat-obatan untuk memperoleh kesembuhan namun ternyata tidak sembuh-sembuh karena obat yang dibelinya adalah palsu? Apakah ISFI lebih mengutamakan masalah dispensing obat daripada melindungi konsumen dari peredaran obat palsu? Mengapa ISFI masih tertidur selama ini dalam menangani peredaran obat palsu? Apakah tidak ada keinginan untuk memberantas peredaran obat palsu di Indonesia hingga ke akar-akarnya? Padahal jelas-jelas akibat dari peredaran obat palsu tersebut tidak hanya akan merugikan konsumen (pasien) namun juga merugikan para pekerja kefarmasian dalam memperoleh kesempatan kerja nantinya. Andaikan saja jalur distribusi obat tidak timpang dan rumit, maka harga obat tidak akan mahal saat dibeli oleh pasien. Jika jalur distribusi obat telah jelas, maka pengawasan dalam peredaran obat akan menjadi lebih mudah dan dapat diperketat. Mutu obat yang beredar pun juga akan terjamin karenanya. Jika jalur distribusi dan pengawasan distribusi obat dapat ditingkatkan dengan cara tersebut, setidaknya akan meminimalisir obat-obatan palsu beredar di masyarakat. Dengan demikian pasien akan lebih terlindungi dari produk-produk obat yang palsu ataupun ilegal dan pemasukan pajak pun akan menjadi bertambah dari hasil penjualan obat asli dan legal.

5 komentar:

  1. kalau apoteker sudah menerapkan TATAP, obat palsu sudah tidak mempunyai tempat, atau setidaknya akan menjadi lebih dipersempit. keberadaan obat palsu juga menjadi tangung jawab apoeker secara umum, karena peran apoteker yang salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa dibidang kesehatan (edukasi), maka masyarakat akan semakin cerdas didalam memilih obat yang bisa dijamin asli dan sesuai dengan kebutuhannya.

    pendapat saya, janganlah obat palsu kita sikapi dengan saling menyalahkan, tetapi marilah kita perangi obat palsu dengan cara2 yang lebih profesional dengan lebih hadir diapotek dan melayani masyarakat secara langsung. menurut saya tulisan ini hanya berpijak pada anggapan2 saja dan tidak didukung data, baik data pengalaman sebagai praktisi atau data penelitian. mengingat anda adalah akademisi seharusnya tulisan begini ini ada data penelitiannya atau setidaknya hasil dari rangkuman sebagai praktisi yang terlibat langsung didalam praktek profesi. klu hanya pengamat dan menulis banyak orang yang bisa, tetapi tulisannya tidak bisa dijadikan landasan didalam mengambil suatu keputusan profesi.

    kenapa obat palsu ada? dan bagaimana cara menekan peredaran obat palsu? adalah suatu tesis tersendiri. bagi seorang akademisi seperti anda tulisan begini justru akan menjadikan ketidak mengertian para praktisi dan akan menjadi contoh yang kurang baik karena terlalu menyalahkan orang lain.

    penyebab peredaran obat palsu sangat komplek dan tidak bisa hanya dibahas sedemikian saja. tetapi benar2 membutuhkan langkah yang tepat dan didukung oleh data penelitian yang vaild. oleh karena itu setidaknya harus ada satu tesis. menurut pendapat saya, peredaran obat palsu dapat ditekan dengan sangat baik bila ujung tombak dari penyerahan obat kepada masyarakat dilakukan apoteker secara langsung.

    BalasHapus
  2. Dear hisfarma,
    Saya setuju dengan pandangan anda langkah menekat jumlah obat palsu yang beredar, dengan TATAP. Tulisan ini pun dibuat untuk melatih mahasiswa farmasi akan kepeduliannya terhadap peredaran obat palsu. Jika dipandang kurang didukung oleh data, saya pikir sebagai tugas mahasiswa yang mengandalkan data sekunder sudah sangat cukup. Jika tulisan ini hanya didasarkan pada hanggapan-anggapan memang benar, tapi bukan anggapan tanpa logika.
    Tujuan tulisan ini adalah untuk membuka mata kita sebagai apoteker, bahwa obat sebagai domain apoteker (tenaga kefarmasian) masih banyak tidak terperhatikan dengan baik. Sehingga kita sebagai apoteker belum bisa mengawal obat, dan memberikan obat bermutu kepada masyarakat.
    salam

    BalasHapus
  3. Harrah's Lake Tahoe - Mapyro
    Harrah's Lake Tahoe 안양 출장마사지 is one of the most well-known hotels 서울특별 출장안마 on the 상주 출장샵 Las Vegas Strip, 출장마사지 and its location is a prime example of its location. 당진 출장마사지

    BalasHapus