Sabtu, 09 Januari 2010

Fenomena Dokter Dispensing Menyebabkan Obat Lebih Mahal

by Ni Made Amelia Ratnata Dewi, Ni Wayan Agustini, and I M.A.G. Wirasuta

Sejak tahun 1240, bidang farmasi dipisahkan secara resmi dari bidang kedokteran dengan dikeluarkannya dekrit oleh raja Jerman Frederick II. Dekrit itu antara lain menyatakan, seorang tabib tidak boleh menguasai tempat penyimpanan obat atau melakukan bentuk eksploitasi apa pun terhadap penderita melalui hubungan bisnis penjualan obat. Pemisahan antara dokter dan apoteker merupakan konsep pengobatan modern yang berlaku saat ini sebagaimana berlaku di berbagai negara di dunia, yakni dokter menulis resep dan apoteker menyiapkan obat serta menyerahkannya pada pasien.

Dispensing berasal dari kata dispense yang dapat berarti menyiapkan, menyerahkan, dan mendistribusikan dalam hal ini adalah obat. Fenomena dokter dispensing sebenarnya bukan hal baru di dunia kesehatan Indonesia. Praktek ini telah berlangsung sedemikian lama dan menjadi kebiasaan. Hal yang tidak disadari oleh pasien bahwa sebenarnya praktek tersebut melanggar hukum jika di lingkungan tersebut terdapat apotek yang dapat dijangkau. Pada masa lalu, praktek ini dapat dimaklumi karena jumlah apotek yang sangat terbatas. Saat ini peraturan yang berlaku menyatakan bahwa praktek dispensing hanya boleh dilakukan pada kondisi yang sangat spesifik misalnya di daerah yang sangat terpencil. Hal ini dicantumkan dalam Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 35 ayat (1) huruf i dan j. Berdasarkan PP RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang termasuk pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Dengan adanya PP ini, maka dispensing merupakan salah satu pekerjaan kefarmasian.

Denpasar merupakan salah satu kota di Bali dengan tingkat penyimpangan praktek dokter dispensing yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Widnyana (2009), yang dilakukan pada tiap kecamatan di lingkungan kota Denpasar tersebut menunjukkan bahwa di Denpasar utara tingkat penyimpangan obat penyerahan obat oleh tenaga medis sebesar 60,00%, di Denpasar Selatan sebesar 62,27%, di Denpasar Barat tingkat penyimpangan obat oleh tenaga medisnya sebesar 72,27% sedangkan di Denpasar Timur sebesar 65,45%.

Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa dispensing obat oleh dokter tidak hanya dilakukan di pedesaan yang sangat jarang terdapat apotek, tetapi dilakukan di kota-kota besar yang terdapat banyak apotek. Praktek dispensing juga dapat membuka celah bagi oknum dokter untuk memberikan obat tertentu tanpa berdasarkan pertimbangan klinis yang benar karena tidak adanya pengawasan dari pihak ketiga. Kondisi ini makin diperburuk oleh industri farmasi yang menjalin hubungan bisnis dengan sebagian oknum dokter untuk meresepkan suatu jenis obat dengan merek tertentu. Praktek ini seharusnya dihentikan karena praktek dispensing dokter adalah ilegal dan dapat merugikan pasien

Adanya dokter dispensing obat ini merugikan pasien dari segi biaya dan pelayanan. Dari segi biaya menyebabkan harga obat lebih mahal. Sebagai contoh, seorang dokter umum memungut biaya pemeriksaan dan biaya obat pada pasien yang menderita demam rata-rata Rp. 50.000,00-. Jika biaya pemeriksaan sebesar Rp. 25.000,00- dan pasien diberikan obat antibiotik (Pehamoksilin®) dan penurun panas (Dumin®). Total harga obat tersebut di apotek adalah Rp. 10.000,00-. Jadi dokter mendapatkan keuntungan dari dispensing obat untuk 1 orang pasien sebesar Rp. 15.000,00-. Sehingga besarnya keuntungan dokter dari dispensing adalah 150 %. Jika umumnya dalam 1 hari dokter menerima pasien 10 orang maka total keuntungan pasien dari dispensing adalah sebesar Rp. 150.000,00-. Maka dalam setahun, keuntungan dokter tersebut sebesar Rp. 46.800.000,00-. Pada daerah yang terdapat apotek, dispensing tidak termasuk dalam pekerjaan dokter, sehingga dokter dispensing menyebabkan negara mengalami kerugian akibat tidak dibayarkannya pajak penghasilan dari dispensing obat oleh dokter. Pada contoh tersebut, negara kehilangan pajak sebesar Rp. 4.680.000,00-.

Jika pasien mendapatkan resep seperti di atas dan pergi ke apotek untuk membeli obat generiknya, pasien mendapatkan obat dengan harga yang lebih murah untuk penurun panas (parasetamol) dan antibiotik (amoksisilin) yaitu sekitar Rp 5.000,00-. Jika ditambahkan dengan biaya pemeriksaan pasien hanya membayar sebesar Rp 30.000,00-. Sehingga pasien dapat menghemat uang sebesar Rp 20.000. Jadi sebenarnya paradigma yang menyatakan fenomena dokter dispensing dapat mempermurah harga obat itu merupakan hal yang tidak benar.

Adanya fenomena ini juga menyebabkan pasien kehilangan haknya untuk mendapatkan asuhan kefarmasian. Tanpa adanya asuhan kefarmasian, tidak ada sistem yang mengelola dan memonitor dampak obat secara efektif. Pasien juga kehilangan haknya untuk mendapatkan informasi dan mendapatkan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan asuhan kefarmasian yang berperan dalam pencegahan kesalahgunaan obat (drug misuse), penggunaan obat yang berlebih (drug overuse), penyalahgunaan obat (drug abuse), dan efek-efek obat yang tidak diinginkan.

Untuk mengatasi fenomena dokter dispensing dibutuhkan suatu pembentukan aturan yang baru untuk mengatur secara jelas terkait batasan tugas dan wewenang tiap-tiap tenaga kesehatan dalam suatu aturan yang khusus dann terperinci, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang keliru dari berbagai pihak. Kurangnya pengetahuan aparat menyebabkan tidak terdeteksinya pelanggaran ini sehingga perlu dilakukannya seminar tentang hukum kesehatan secara intensif kepada para aparat penegak hukum. Apoteker juga diharapkan untuk selalu ada di apotek karena ketidakhadiran apoteker akan terus menjadi alasan bagi tenaga medis untuk tetap melaksanakan penyerahan obat akibat kurang berperannya apoteker di apotek dalam memberikan informasi obat pada pasien. Bagi pihak yang melanggar ketentuan, patut diberi sanksi, berupa sanksi administratif yakni sanksi berupa teguran sampai dengan pencabutan izin praktik atau usaha.

31 komentar:

  1. obat bisa lebih mahal bila dilihat dari banyak sisi, yang pertama obat mahal karena harga obat telah dimuati biaya2 termasuk biaya pemasaran. kedua mahal karena penggunaan tidak rasional (polifarmasi). ketiga mahal karena ESO, yang mana mahal karena masyarakat terkena biaya lagi karena dampak dari ESO. keempat maha karena penggunaan tidak tepat. dsb

    kaitan dokter dispensing dengan harga obat juga sangat beragam. dan alasan yang dibuat2 oleh dokter untuk melegalkan dispensing juga beragam. untuk hal ini, saya setuju dengan pendapat anda "Apoteker juga diharapkan untuk selalu ada di apotek" karena separo dari permasalahan kesehatan terkait peran apoteker.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Obat mahal bukan karena penyimpanan obat oleh dokter. Malah banyak dokter yang memberikan harga obat lebih murah. Masalah utama saat ini adalah: banyak apotek justru tidak mau menyediakan obat generik dan mereka meberi obat dgn harga yg mahal. Malah banyak apotek yang melakukan pemeriksaan seolah-olah dia dokter yg berjas puti dan memeriksa pasien secara tidak standar karena memang tidak memiliki ilmu medis karena mereka bukanlah tenaga medis melainkan tenaga farmasi yg fungsinya adalah memberikan obat yg diresepkan dokter 9kecuali obat bebas/terbatas/OWA yg boleh mereka berikan], mereka banyak yg memberi obat keras di luar kewenangannya, hal ini sering menyebabkan pasien datang ke dokter setelah muncul efek samping yg tak bisa ditahan lagi bahkan mengancam nyawa. Contoh:mengalami gagal ginjal dan perdarahan saluran cerna setelah membeli bat-obat keras tanpa aturan yg benar karena pelayanan tanpa resep. Juga peningkatan jumlah pasien yang resisten terhadap antibiotik karena pemberian obat oleh apotek tanpa resep dokter. Ini suatu hal yang semata bertujuan meraup keuntungan tanpa memperhatikan keselamatan pasien. Justru penyimpanan obat oleh dokter menyebabkan harga obat itu menjadi murah karena langsung satu paket dalam pemeriksaan dan dokter dapat mengurangi harga bila pasien kurang mampu. Kalau di apotek tak mungkin harga obat dikurangi karena pasien kurang mampu. Yang terjadi malah jumlah obat yang diberikan kurang sehingga dapat memicu perkembangan kuman penyakit (resistensi kuman]

      Hapus
  2. Hisfarma:
    Trimk's atas komennya. Tulisan yang dibuat adalah sebagai usaha dalam proses belajar mengajar, untuk mencari jawaban atas tudingan kolega dokter bahwa dispensing dapat menekan biaya obat. Mempublikasikan dalam tulisan yang bisa diakses oleh masyarakat adalah usaha untuk menjelaskan kepada masyarakat apa sebenarnya yang terjadi.
    Salam

    BalasHapus
  3. di UU praktik kedokteran no 29 thn 2004 pasal 35 dijelaskan bahwa selain obat suntik dokter diberi kewenangan untuk menyimpan, meracik, dan mendistribusi obat dengan jumlah terbatas yaitu sesuai dengan kebutuhan praktek, tanpa ada syarat terkait apotek terdekat. Jika mau adil, mari dilihat fenomena sebaliknya di mana apoteker sering memberikan obat yang indikasinya kurang tepat, ketika pasien langsung datang ke apoteknya. Saya dokter, dan saya melihat itu juga ada suatu overlap wewenang.

    BalasHapus
  4. Rekan Dokter,
    terimakasih atas komentarnya, yang berharga. Harapan saya disini kita memulai menjalankan profesi kita masing-masing sesuai dengan aturan, dengan mengedepankan dan menjunjung keutamaan keselamatan dan keamanan pasien.

    Kami tidak bermaksud saling menyalahkan satu profesi dan profesi yang lain. Tulisan ini ditujukan untuk mengajak masyarakat mulai kritis akan apa yang mereka terima dari praktek pengobatan.

    Saya sadari banyak apoteker belom menjalankan praktek profesinya dengan tepat. Misalnya apoteker yang tidak pernah hadir di Apotek, Apotek yang melakukan prescribing (memberikan obat keras yang seharusnya tidak boleh diberikan tanpa resep), dan lain sebagainya. Kami berharap melalui PP 51 tahun 2009, dan UU Kesehatan 36 th 2009 praktek profesi kesehatan di Indonesia berjalan dengan selaras dan saling menhormati antar profesi.
    salam
    Penulis

    BalasHapus
  5. Dengan adanya PP NO 51 tahun 2009, semakin memotivasi apoteker untuk meningkatkan kompetensi mereka agar tidak terlindas waktu apalagi dengan adanya dispensing oleh dokter.....harus bangkit apoteker


    by. James Paonganan, Apt

    BalasHapus
  6. Dispensing dokter tidak selalu menjadikan harga obat lebih mahal. Karena,ketika dokter membeli obat itu bs jauh lbh murah dr HET jd dokter bs memberikn obat lbh murah(d bwah HET). Sedangkn obat yg dijual d apotek lbh mahal dari HET

    BalasHapus
  7. wah bagus banget ini..ijin share boleh ya... :) trimakasih..

    BalasHapus
  8. het pda harga obat itu adalah harga eceran tertinggi..namun jika dilihat lagi,,banyak kejadian yg membuat pasien tdk tau brpa het sesungguhnya dr obat yg dberikan oleh dokter,,krna banyak dokter membuka kemasan lalu dikemas ulang kdalam plastik bening lalu diberikan pda pasien,,sdgkan d apotik kmsan tdk dilepas shga het,expire n semuanya nampak jjelas terlihat pda kemasan..,,n perlu diingat hal ini juga ada kaitannya dgn pbf yg nakal krna srg kali mrka memberikan hrga jual pda apotik n juga pda dokterdgn hrga n diskon fyg berbeda.,,itulah yg membuat hrga pda dokter kesannya lbh murah.,,seringkali saya dibuat bgg,,knpa apotik perlu dsidak,,perlu diselidiki bhkan ada yg memakai intel dr dinkes untuk menyidak apotik yg memberikan obat racikan pda pasien???n itu hukumannya akan dsidang,,lah pdhal kn drpda apotik yg spt itu lbh baik menyidak praktik dokter yg jelas2 memajang obat dispensing mrka drak samping meja praktik mrka n itu lbh yta dlihat oleh pasien,,lagian kmbli lg pd prturannya,,dokter n hnya boleh menyediakan obat jika wilayah praktiknya jauh dr apotik n pusat kshtan lain,,

    BalasHapus
  9. ijin share pa, follow juga deh, tapi keknya dah lama ga entry baru pa, oh iya...UU praktik kedokteran no 29 thn 2004 pasal 35 itu tafsir hukum yang sebenarnya seperti apa ya.. ko terkesan saling membenarkan atas apa yang dilakukan profesi masing2

    BalasHapus
  10. Masing2 profesi punya pandangan, baiknya ada ketegasan dari Pemerintah untuk Peraturan Perundang-undangannya bahwa Pemisahan diagnose dan dispensing harus dipraktekkan secara konsekuen, dan bagi yang melanggar ditindak dengan tegas. Memang untuk sampai kesana masing2 profesi harus bisa menahan diri tetapi kalau tidak dimulai kapan kita sampai? sedih pasien banyak yang menjadi korban atas ego dan pura2 tidak tahu atas wilayah profesinya. Sangat memalukan.....!

    BalasHapus
  11. Menata sistem kesehatan dengan mengedepankan tugas fungsi pokok masing-masing profesi kesehatan. UU 36 psl 108, telah mengamanahkan apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang diberi kewenganan dalam pengadaan, produksi, distribusi dan pelayanan atas obat.
    Jika SJSN Kesehatan yang dikelola oleh BPJS-Kesehatan mampu meletakkan topoksi masing-masing profesi kesehatan sesuai dengan kompetensinya. Harapannya dokter tidak ada lagi dispensing dan apoteker tidak akan ada melanggar kewenangan dokter untuk melakukan prescribing. Karena melalui sistem BPJS kesehatan saya harapkan pasien sebagai agen perubah sistem. Pasien akan tidak lagi mengeluarkan pembayaraannya melalui OOP (out of pocket money) pasien akan meminta semua tagihan pelayanan kesehatan melalui BPJS-Kesehatan. Hal ini sangat efektif untuk menekan sistem liberalisasi pembiayaan kesehatan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya seorang pasien,alangka baiknya jika masing masing profesi mengedepankan pelayanan yang baik dan menindak atau menberi sanksi bila terindikasi pelanggaran kewenangan, saya sebagai masyarakat awan mengalami kasus dispensing pada saat sy skit demam karena gejala tifus dan periksa di praktek dokter ahli farmasi dgn biaya normal 150rb menjadi 300rb plus obat,dgn terpaksa sy pun membayar mahal biaya periksa plus obat, dgn rasa penasaran setiba dirumah sy coba cari tau tentang kegunaan dan harga obatnya, ternyata harga obatnya sangat murah ( dibawah 50rb utk 3 jenis obat ),dari pengalaman diatas saya sebagai pasien sngat dirugikan dgn pelayanan seperti itu,dan sebagai masyarakat awam cm bisa menarik nafas dalam2 dan tidak tau harus konsultasi dgn siapa dan mengadu dgn siapa..

      Hapus
  12. Sebenarnya tergantung pada "Niatan" masing-masing. Apa diantara masing-masing profesi mau mencari keuntugan dari penderitaan orang lain. Sebaiknya buat pooling saja ke masyarakat/pasien, mereka mau pilih yang mana. Dah pasti masyarakat mau pilih dokter yang menyediakan obat di tempat praktek daripada harus beli mahal di Apotik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju! Saya pasien..pada awalnya sy memilih minta resep di dokter, ketika kontrol ternyata obat yg diberikan apotek ke saya bukan obat generik sesuai yg dituliskan dokter (kebetulan saya fotokopi resepnya).Sy pilih langsung ke dokter saja lah.Jadi sudahlah, rejeki masih2 dah ada yg atur

      Hapus
  13. Dimana mana dispensing lebih murah karena di peresepan dr juga bekerja sama dengan farmasi untuk meresepkan obat tertentu yg membuat harga obat lebih mahal.harga obat resep lebih mahal dari dispensing.

    BalasHapus
  14. Kalau anda pergi kedr dispensing biaya paling 100-150rb.coba anda kedr yg meresepkan pasti lebih mahal menebus keapotik.saya sales obat dispensing jadi lebih tahu.....

    BalasHapus
  15. Dokter adalah profesi mulia, apoteker adalah profesi mulia,,ttp jika seorang dokter atau apoteker merangkap keduanya,,maka kedua profesi menjadi hilang kemuliaannya..

    BalasHapus
  16. Dokter adalah profesi mulia, apoteker adalah profesi mulia,,ttp jika seorang dokter atau apoteker merangkap keduanya,,maka kedua profesi menjadi hilang kemuliaannya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya sebagai pasien kadang terlalu percaya dengan penjelasan orang yang berdiri di belakang etalase apotek, berjas putih layaknya dokter, kemudian memeriksa tekanan darah saya dengan tensi digital,mnekan nekan dada saya dengn setoskop memeriksa gula darah saya, bahkan memberi setiap obat. Namun ternyata memperparah penyakit, selidik demi selidik ternyata yg berjas putih itu adalah apoteker, bukan dokter. Menurut saya ini penipuan. Saya tertipu dan kesal saya dgn aturan yg tidak menindak tegas yg seperti ini. Bisa-bisa mencelakakan kalau apoteker menjadi dokter gadungan.

      Hapus
    2. Waduh parah itu pengalaman Anda

      Hapus
    3. Waduh.. ikut berduka bos.. daerah mana tuh

      Hapus
  17. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  18. Aturan undang2 ini bisa berjalan bila, pemerintah tegas, yaitu dr tdk blh menyediakan obat sendiri tetapi hrs meresepkan ke apotek, juga sebaliknya apoteker apalagi pemilik apotek tidak bisa memberikan obat golongan K contoh antibiotik tanpa resep dokter, jadi jelas kalau sakit dtgnya ke dokter bukan lgs beli obt ke apotek, selama apotek bisa sembarangan memberi obt tanpa resep dokter,sperti itu juga kmd dokter memberi obt langsung ke pasien,

    BalasHapus
  19. Aturan undang2 ini bisa berjalan bila, pemerintah tegas, yaitu dr tdk blh menyediakan obat sendiri tetapi hrs meresepkan ke apotek, juga sebaliknya apoteker apalagi pemilik apotek tidak bisa memberikan obat golongan K contoh antibiotik tanpa resep dokter, jadi jelas kalau sakit dtgnya ke dokter bukan lgs beli obt ke apotek, selama apotek bisa sembarangan memberi obt tanpa resep dokter,sperti itu juga kmd dokter memberi obt langsung ke pasien,

    BalasHapus
  20. Itu penyesatan terstruktur!!! Ke apotek justru lebih mahal, sering kali resep yg saya tebus (generik) diganti oleh apotek seenaknya katanya obat tsb tdk ada, ttp ada yg lbh bagus...bohong besar kalo di apotek lbh murah.

    BalasHapus
  21. Dokter dituntut memberi pelayanan yang prima termasuk disini dlm pemberian obat di tpt praktek, lalu apa salahnya???
    1. Sewaktu mahasiswa kedokteran kita mempelajari ilmu farmakologi maupun farmakokinetik obat jd penyimpanan maupun pemberian obat oleh dokter jelas msh kompetensi dokter.
    2. Pemberian obat lsg dari dokter akan lebih terjamin sampai ke pasien, tanpa kekhawatiran dokter maupun pasien tjd kesalahan/penyimpangan obat oleh apote (apoteker).
    3. Jelas lebih efisien dan ekonomis bagi pasien (masyarakat).
    4. Jikalau harus resep...siapa yg akan bertanggung jawab jika terjd penyimpangan obat di apotek?? Apakah setelah membeli obat ke apotek pasen hrs kembali lg ke dokter utk memastikan kebenaran obat yg dibeli??? Waaahh membebani pasen banget.!! Belum lg jika tjd syok anafilaktik oleh kesalahan/penyimpangan pemberian obat...
    5. Apakah semua apoteker sdh standby ni di apotek??? Tidak kan...??? Yg ada apoteker itu cuma namanya doang disana, tiap bulan minta fee nya dari pemilik apotek.
    6. Kami dokter bukannya egois, tapi memang kami dituntut utk memberi pelayanan menyeluruh sesuai dgn ilmu yg kami terima selama pendidikan kedokteran.
    7. Sekedar dispensing/menyimpan/memberikan obat ke pasien yang obat2nya jg diperoleh dari apotek (apoteker) bukankah malah membantu apoteker ya...kok malah diserang ya kemuliaan dokter???
    7. Ayo dokter n apoteker kita bersinergi, itu lebih baik...bnyk persoalan bangsa ini yg perlu persatuan rakyatnya utk jd KUAT!!! Jgn muau diadu utk komoditas politik.

    Terimakasih.
    Bersatula INDONESIA ku
    Bangun ibu pertiwi ini tanpa menjatuhkan pihak lainnya.

    BalasHapus
  22. Dokter dituntut memberi pelayanan yang prima termasuk disini dlm pemberian obat di tpt praktek, lalu apa salahnya???
    1. Sewaktu mahasiswa kedokteran kita mempelajari ilmu farmakologi maupun farmakokinetik obat jd penyimpanan maupun pemberian obat oleh dokter jelas msh kompetensi dokter.
    2. Pemberian obat lsg dari dokter akan lebih terjamin sampai ke pasien, tanpa kekhawatiran dokter maupun pasien tjd kesalahan/penyimpangan obat oleh apote (apoteker).
    3. Jelas lebih efisien dan ekonomis bagi pasien (masyarakat).
    4. Jikalau harus resep...siapa yg akan bertanggung jawab jika terjd penyimpangan obat di apotek?? Apakah setelah membeli obat ke apotek pasen hrs kembali lg ke dokter utk memastikan kebenaran obat yg dibeli??? Waaahh membebani pasen banget.!! Belum lg jika tjd syok anafilaktik oleh kesalahan/penyimpangan pemberian obat...
    5. Apakah semua apoteker sdh standby ni di apotek??? Tidak kan...??? Yg ada apoteker itu cuma namanya doang disana, tiap bulan minta fee nya dari pemilik apotek.
    6. Kami dokter bukannya egois, tapi memang kami dituntut utk memberi pelayanan menyeluruh sesuai dgn ilmu yg kami terima selama pendidikan kedokteran.
    7. Sekedar dispensing/menyimpan/memberikan obat ke pasien yang obat2nya jg diperoleh dari apotek (apoteker) bukankah malah membantu apoteker ya...kok malah diserang ya kemuliaan dokter???
    7. Ayo dokter n apoteker kita bersinergi, itu lebih baik...bnyk persoalan bangsa ini yg perlu persatuan rakyatnya utk jd KUAT!!! Jgn muau diadu utk komoditas politik.

    Terimakasih.
    Bersatula INDONESIA ku
    Bangun ibu pertiwi ini tanpa menjatuhkan pihak lainnya.

    BalasHapus
  23. Mungkin solusi nya adalah ada MOU antara dokter dengan apotik yang dekat dengan praktek dokter tersebut, apotik mau mengantarkan obat ke praktekkan dokter tersebut apabila ada pasien yang memerlukan obat, hal ini untuk memangkas biaya transport pasien ke apotik dan solusi yang kedua ada MOU dokter dan apotik, apotik menitipkan obat ke dokter yang secara rutin apotik mengawasi penggunaan obat tersebut oleh dokter tersebut

    BalasHapus
  24. Sepertinya harus dibedakan antara kompetensi dan kewenangan. Dokter memiliki kompentensi tentang obat karena belajar farmakologi saat kuliah, pun apoteker juga memiliki kompetensi ttg penyakit karena belajar anatomi fisiologi juga saat kuliah. Mari lihat secara adil, keduanya mungkin sama-sama memiliki kompetensi tapi belum tentu memiliki kewenangan. Kewenangan apoteker adalah dispensing, kewenangan dokter adalah diagnosis dan meresepkan obat. Walaupun niatnya "saling membantu" tenaga kesehatan lain, namun ada batasan berupa kewenangan masing-masing pihak yg tidak boleh saling dilanggar.

    BalasHapus
  25. mantap Sangat jelas dan lengkap, thanks ya

    Bagi yang memiliki online shop dan ingin membuat website toko online lengkap, desain menarik, gratis penyebaran, SEO, Backlink, agar usaha nya mudah ditemukan banyak pembeli di internet, sehingga bisa meningkatkan penjualan, klik ya.. Jasa Pembuatan Website Toko Online Murah

    Pusat Penjualan Hijab Jilbab Kerudung Terbaru harga termurah di Indonsia : Grosir Jilbab Murah di Indonesia.

    BalasHapus