Minggu, 18 September 2016

Permenkes Apotek dan Permenkes Praktek Dokter Mandiri blm bisa disyahkan, kenapa ya?

Permenkes Apotek dan Permenkes Praktek Dokter Mandiri blm bisa disyahkan, kenapa ya? Mendengar bocoran katanya ada pasal2 tawar menawar antara ke dua profesi tersebut. Apakah yg menjadi tawar menawarnya? Oooo rupanya obat!!! Sebagai komuditas yg pasti akan dibeli oleh pasien, dengan tawar menawar oleh pasiennya. Obat memang barang yg menarik antara apoteker dan dokter. Dokter ingin bisa memberikan obat langsung kepada pasiennya dengan tanpa menulis resep. Praktek ini dikenal dengan Dispensing. Apoteker ingin bisa menjual obat keras (dengan lingkaran) merah kepada pasien tanpa resep. Hal ini dikenal dengan Prescreibing. Kenapa tawar menawar ini menjadi alot, ya tentunya penghasilan menjadi target nya.
Praktek dispensing oleh dokter sudah menjadi rahasia umum, dan tentunya pasien dan dokter menganggap hal ini seatu kebiasaan yg dibenarkan, krn sudah dikerjakan secara terus menerus. Kenapa hal ini susah ditinggalkan? Ya jika sebagai dokter setelah mendiagnosis bisa langsung memberi obat, katanya bisa menguntungkan pasien, dengan alasan.
-, obat lebih murah buat pasien, kenapa harga obat bisa lebih murah jika diberikan oleh dokter, badahal aturannya dokter tdk bisa membeli obat ke distributor (PBF). Syarat membeli obat ke PBF hrs ada Surat Pesanan Apoteker Penanggung Jawab Apotek. Ooo rupanya obat dokter dapatkan dari apotek2 tertentu yang memang target omsetnya adalah dokter2 dispebsing. Apotek2 inj disebut sebagai apotek panel. Oo alaaah rupanya apoteker juga menjadi asal muasal dokter bisa melakukan praktek dispensing.
.
-, dokter dapat membrikan obat yg sesuai dan memberi penjelasan indikasi obat kepada pasien, dr pada diberikan resep, krn kenyataan apoteker adanya hanya penampakan di apotek. Para apoteker jarang hadir di apotek, hanya nitip nama di apotek. Banyak laporan dari sejawat dokter, menyatakan bahwa pasienya menyerahkan resep ke apotek tidak menemui apoteker. Pasien tidak mengenal hukum perUu yg berlaku. PP 51 th 2009 menjamin hak pa5ien, bahwa pelayanan resep atas doktr hrs dilakukan oleh apoteker. Nah kejadian ini dianggap suatu kewajaran dan kebenaran oleh pasien, yach krn selama ini pasien hanya tau ke apotek nukar resep, atau makna nya ke apotek hanya beli obat atas resep. Lah ya jika beli obat nggak perlu apoteker yang penting dapet obat seperti yg diresepkan dokter.
Lalu apa peran dalam praktek kefarmasian, PP 51th 2009 mewajibkan apoteker yg melayani penyerahan obat atas resep dokter? Hal yg mendasar adalah cross chek untuj mengedepankan keamanan pasien menjadi hal yg utama. Ada apa dengan keamanan pasien, pada peresepan obat? Obat adalah senyawa kimia asing bagi tubuh. Xenobiotika ini adalah racun. Paracelcius menyatakan sola facit et pinenum, semua itu racun, hanya dosis yang membuat menjadi tdk beracun. Resep dokter sering menuliskan lebih dari satu obat, nah disini bisa terjadi interaksi antara satu obat dengan yg lainnya, atau mungkin interaksi obat dengan makanan. Pelayanan asuhan kefarmasian "pharmaceutical care" adalah praktek kefarmasian yg konfrehensip dari seorang apoteker, guna mengingkatkan kesihatan pasien dan menjamin keamanan pasien. Nah dlm praktek ini seorang apoteker wajib melakukan audit obat yg diresepkan dokter, apakah dosisnya tepat, apakah indikasi obat yg diresepkan sudah sesuai dengan tujuan terapi, atau diagnosis dokter, apakah bentuk sediaan obat yg diresepkan sudah sesuai dengan kebutuhan pasien, apoteker wajib memberikan informasi yg terkait dengan cara pemakian obat, aturan pemakaian obat, cara penyimpanan obat, cara minum dan menginformasikan efek samping yg mungkin muncul ketika pasien minum obat tersebut. Apoteker hrs menbuat catatan penggunaan obat pasien dan melakukan pemantauan terapi obat.
Nah jika apoteker tdk hadir diapotek dan pelayanan atas resep dokter tdk dikerjakan oleh apoteker, yg dirugikan adalah pasien, tentu wajar sejawat dokter memohon diijinkan melakukan dispensing.
Nah semua alasan diatas benar dan syah saja.
Sy jadi ingat dengan UU JKN yang menargetkan seluruh penduduk Indonesia, pada th 2019 harus terasuransi kesehatannya. Jika UU ini berjalan sesuai dengan yg direncanakan, artinya pada tahun 2019 semua semua penduduk Indonesia punya kartu BPJS nah artinya BPJS yg menanggung semua biaya pelayanan kesehatan. Saya membayangkan pada waktu itu tdk ada akan mau pasien mengeluarkan uang ekstra untuk membeli obat, baik dari dispensing maupun di apotek. Tdk akan ada dokter dispensing maupu apoteker prescribing.
Nah jika demikian adanya kenapa pasal tawar menawar ini mesti tetep ada? Kenapa sudah saja ditetapkan dokter tdk boleh dispensing dan apoteker tdk boleh prescribing. Malah pemerintah melakukan pengawasan atas berjalannya praktek kedokteran dan praktek kefarmasian berjalan sesuai dengan standarnya, untuk menjunjung tinggi keselanatan pasien.
Slm
Dr Gelgel Wirasuta