Senin, 04 Juni 2012

Dugaan Perkosaan Menggunakan Obat (Tugas Kuliah Farmasi Forensik)


Dugaan Perkosaan Menggunakan Obat
oleh
Made Chandra Wrasmitha Dewi, I M.A. Gelgel Wirasuta
Jurusan Farmasi Udayana

KASUS :
Dua orang tersangka dituduh memperkosa perempuan yang mereka undang ke apartemen mereka. Mereka mengklaim bahwa korban minum sehingga mabuk dan tidak sadarkan diri dalam rentang waktu 30 menit setelah kedatangannya, dimana dia berimajinasi telah diperkosa. Korban tersadar empat jam kemudian.
Korban bersaksi bahwa dia memang meminum dua bir dan satu skochi selama 2,5 jam. Setelah dia berhenti minum, dia merasakan pusing dan tidak sadarkan diri. Dia terjaga dan merasa sedang diperkosa, namun rasanya seperti mimpi dan dia tidak bisa berbicara atau bergerak.

PENYELESAIAN :
Menurut KUHP pasal 285 perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk dalam kategori kekerasan disini adalah dengan sengaja membuat orang pingsan atau tidak berdaya (pasal 89 KUHP). Hukuman maksimal untuk delik perkosaan ini adalah 12 tahun penjara (Atmadja, 2009).
Mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum (Atmadja, 2009).
Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan. Penegak hukum mengartikan Visum et Repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya (Kuntawiaji, tt).

Untuk mengetahui apakah korban diperkosa, maka harus dilakukan pemeriksaan antara lain tanda kekerasan dan tanda persetubuhan.
1.             Tanda Kekerasan
Yang dimaksud dengan kekerasan pada delik susila adalah kekerasan yang menunjukkan adanya unsur pemaksaan, seperti jejas bekapan pada hidung, mulut dan bibir, jejas cekik pada leher, kekerasan pada kepala, luka lecet pada punggung atau bokong akibat penekanan, memar pada lengan atas dan paha akibat pembukaan secara paksa, luka lecet pada pergelangan tangan akibat pencekalan dsb (Atmadja, 2009).
Pemeriksaan toksikologi untuk beberapa jenis obat-obatan yang umum digunakan untuk membuat orang mabuk atau pingsan perlu pula dilakukan, karena tindakan membuat orang mabuk atau pingsan secara sengaja dikategorikan juga sebagai kekerasan. Obat-obatan yang perlu diperiksa adalah obat penenang, alkohol, obat tidur, obat perangsang (termasuk ecstasy) dsb (Atmadja, 2009). Untuk uji toksikologi untuk mengetahui apakah pada minuman korban diberikan obat penenang, maka dilakukan uji sebagai berikut (dimisalkan raped drug yang digunakan diazepam):
a.    Uji skrinning
Uji skrinning adalah pemeriksaan pendahuluan laboratorium sebagai upaya penyaring untuk mengetahui ada atau tidaknya dan jenis obat yang menimbulkan efek toksis atau efek gangguan kesehatan. Dalam deteksi penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, uji skrining dilakukan untuk menentukan golongan analit (narkotika dan psikotropika) yang digunakan. Hasil dari uji skrining dapat dijadikan dasar dugaan atau hanya sebagai petunjuk dan bukan merupakan bukti yang kuat bahwa seseorang telah mengkonsumsi narkotika dan psikotropika karena uji skrining belum mampu mendeteksi jenis zat narkotika dan psikotropika spesifik yang terkandung di dalam sampel (Wirasuta, 2008). Pemeriksaan skrining positif berarti suatu obat atametabolitnya terdapat dalam darah sebanyak atau lebih banyak dari batas deteksi alat (BNN, 2008).
Alat yang dapat digunakan untuk melakukan uji skrinning dan hanya memerlukan waktu sesaat untuk membaca hasilnya secara manual adalah strip test. Strip test merupakan teknik immunoassay dengan menggunakan dasar reaksi imunologi antara antigen dan antibodi (Sukasediati dan Matta, 1987). Hasil dinyatakan - (negatif) bila tampak dua garis pada huruf C (zona kontrol validitas) dan T (zona tes/uji), sedangkan hasil dinyatakan + (positif) bila tampak satu garis pada huruf C (zona kontrol validitas) (Suwarso, 2002).
Pada kasus di atas, sampel darah korban di ambil kemudian diteteskan ke alat strip test, apabila strip test menunjukkan hasil positif bahwa pada darah korban mengandung obat golongan benzodiazepin (BZD) yang memiliki efek sedatif-hipnotika, maka selanjutnya dilakukan uji konfirmasi untuk memastikan jenis zat narkotika dan psikotropika yang terkandung di dalam sampel tersebut.

b.    Uji konfirmasi
Pemeriksaan konfirmasi adalah suatu pemeriksaan lanjutan yang lebih akurat karena hasil yang dikeluarkan sudah definitif menunjukkan jenis zat narkotika psikotropika yang terkandung di dalam sampel tersebut. Pemeriksaan dilakukan apabila hasil pemeriksaan pendahuluan (screening test) memberi hasil positif (BNN, 2008).
Uji konfirmasi atau pemastian senyawa BZD dapat dilakukan dengan GC-MS (Gas Chromatography- Mass Spectra) atupun KLT-Spektrofotodensitometri. Kelebihan dari GC-MS, antara lain GC-MS sensitif karena mampu mendeteksi  kadar obat < 1µg/L dan membutuhkan waktu pengerjaan yang relatif singkat. Sedangkan kelemahannya adalah memerlukan derivatisasi sampel dan biaya operasional GC-MS relatif mahal. Kelebihan metode KLT-Spektrofotodensitometri adalah biaya operasional yang lebih murah dan tidak membutuhkan derivatisasi sampel sedangkan kelemahannya adalah limit deteksi yang besar (Peat, 1988). Sistem fase gerak yang digunakan adalah TAEA dan TD. Dari hasil uji konfirmasi ini akan diketahui jenis zat golongan benzodiazepin yang terdapat pada sampel, contohnya pada sampel darah diketahui positif mengandung diazepam. Untuk mengetahui apakah pada saat kejadian korban berada di bawah pengaruh obat diazepam, maka perlu dilakukan penetapan kadar.

c.    Penetapan kadar
Diazepam memiliki waktu paruh 20-40 jam, diekskresikan sebanyak 70% dalam bentuk utuh di urin. Diazepam diabsorbsi secara cepat dan menyeluruh setelah konsumsi oral dengan puncak kadar plasma dicapai dalam waktu 30-90 menit. Reaksi Metabolik adalah N demetilasi, 3 hidroksilasi dan konjugasi asam glukoronat. Metabolit aktif adalah desmetildiazepam serta oxazepam dan tenazepam. Ekskresi terutama dalam bentuk metabolitnya dalam urin. Ekskresinya lambat, 71 % dari dosis terdeteksi di urin, 10 % di feses. Diazepam dan N-desmetildiazepam tetap ada di dalam darah setelah pemberian dosis dalam waktu yang lama (BNN, 2008).
Penetapan kadar dilakukan untuk mengetahui kadar diazepam dalam darah. Penetapan kadar dapat dilakukan dengan metode KLT-Spektrofotodensitometri. Apabila analisis dilakukan 5 jam setelah kejadian dan hasil tes menunjukkan bahwa kadar diazepam dalam darah korban sebesar 0,44 mg/L (Cp), maka untuk mengetahui kadar diazepam dalam darah ketika kejadian, maka dilakukan perhitungan runut balik. Perhitungan runut balik dilakukan dengan bantuan waktu paruh farmakokinetik, yaitu dengan dengan asumsi waktu paruh diazepam 20 jam, maka : Apabila telah diketahui nilai k. Berdasarkan literatur, kadar diazepam yang menimbulkan efek dalam plasma adalah 0,1 sampai 1,0 mg/L (Moffat et al., 2005). Ini berarti pada minuman korban telah positif dicampur dengan diazepam dan pada saat kejadian korban berada di bawah pengaruh obat tersebut.

2.             Tanda Persetubuhan
Tanda persetubuhan secara garis besar dapat dibagi dalam tanda penetrasi dan tanda ejakulasi. Tanda penetrasi biasanya hanya jelas ditemukan pada korban yang masih kecil atau belum pernah melahirkan atau nullipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat menyebabkan terjadinya robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5 sampai 7, luka lecet, memar sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir kemaluan maupun daerah perineum. Tidak ditemukannya luka-luka tersebut pada korban yang bukan nulipara tidak menyingkirkan kemungkinan adanya penetrasi (Atmadja, 2009).
Tanda ejakulasi bukanlah tanda yang harus ditemukan pada persetubuhan, meskipun adanya ejakulasi memudahkan kita secara pasti menyatakan bahwa telah terjadi persetubuhan. Ejakulasi dibuktikan dengan pemeriksaan ada tidaknya sperma dan komponen cairan mani. Usapan lidi kapas (swab vagina) diambil dari daerah labia minora, liang vagina dan kulit yang menunjukkan adanya kerak. Adanya rambut kemaluan yang menggumpal harus diambil dengan cara digunting, karena umumnya merupakan akibat ejakulasi di daerah luar vagina (Atmadja, 2009).
Untuk mendeteksi ada tidaknya sel mani dari bahan swab dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopik secara langsung terhadap ekstrak atau dengan pembuatan preparat tipis yang diwarnai dengan pewarnaan malachite green atau christmas tree. Jika yang akan diperiksa sampel berupa bercak peda pakaian dapat dilakukan pemeriksaan Baechi, dimana adanya sperma akan tampak berupa sel sperma yang terjebak diantara serat pakaian. Sel sperma positip merupakan tanda pasti adanya ejakulasi. Kendala utama pada pemeriksaan ini adalah jika sel sperma telah hancur bagian ekor dan lehernya sehingga hanya tampak kepalanya saja. Untuk mendeteksi kepala sperma semacam ini harus diyakini bahwa memang kepala tersebut masih memiliki topi (akrosom). Dengan adanya sperma ini, maka dapat diketahui DNA pelaku pemerkosaan (Atmadja, 2009).
DNA (deoxyribonucleic acid) merupakan jenis asam nukleat yang menyimpan semua informasi genetika manusia (Putra, 2007). DNA merupakan blueprint segala aktivitas sel yang nanti diturunkan ke generasi berikutnya. Jadi secara garis besar, peran DNA di dalam sebuah sel adalah sebagai materi genetik. DNA umumnya terletak di dalam inti sel. Sehingga DNA juga berperan dalam menentukan jenis rambut, warna kulit, dan sifat-sifat khusus manusia. Jadi, seorang anak pasti memiliki ciri tidak jauh berbeda dengan orang tuanya. Hal ini disebabkan karena komposisi DNA-nya sama dengan sang orang tua. Struktur DNA terdiri atas dua untai yang berpilin membentuk struktur double helix. Satu untai berasal dari ibu dan satu untai lagi dari ayah. Masing-masing untai terdiri atas rangka utama dan basa nitrogen yang menyatukan dengan untai DNA lain (Anonim, tt).
DNA fingerprinting adalah teknik untuk mengidentifikasi seseorang berdasarkan pada profil DNAnya. Ada 2 aspek DNA yang digunakan dalam DNA fingerprinting, yaitu di dalam satu individu terdapat DNA yang seragam dan variasi genetik terdapat diantara individu. Prosedur DNA fingerprinting memiliki kesamaan dengan mencocokkan sidik jari seseorang dengan orang lain. Hanya saja perbedanya adalah proses ini dilakukan tidak menggunakan sidik jari, tetapi menggunakan DNA individu karena secara individu DNA seseorang itu unik. Digunakan DNA karena DNA memiliki materi hereditas yang berfungsi untuk menentukan suatu urutan keturunan dalam suatu keluarga secara turun-menurun dengan pola yang acak (karena berasal dari fusi inti ovum dan sperma) sehingga dapat digunakan untuk identifikasi pelaku kejahatan walaupun telah berganti wajah (Anonim, tt).
Pemeriksaan DNA dalam bidang forensik pertama kali diperkenalkan oleh Jeffrey pada tahun 1985. Beliau menemukan bahwa pita DNA dari setiap individu dapat dilacak secara simultan pada banyak lokus sekaligus dengan pelacak DNA (DNA probe) yang diciptakannya. Pola DNA ini dapat divisualisasikan berupa urutan pita-pita yang berbaris membentuk susunan yang mirip dengan gambaran barcode pada barang di supermarket. Uniknya ternyata pita-pita DNA ini bersifat spesifik individu, sehingga tak ada orang yang memiliki pita yang sama persis dengan orang lain (Atmadja, 2009).
Perkembangan lebih lanjut pada bidang forensik adalah ditemukannya pelacak DNA yang hanya melacak satu lokus saja (single locus probe). Berbeda dengan teknik Jeffreys yang menghasilkan banyak pita, disini pita yang muncul hanya 2 buah saja. Penggunaan metode ini pada kasus perkosaan sangat menguntungkan karena ia dapat digunakan untuk membuat perkiraan jumlah pelaku pada kasus perkosaan dengan pelaku lebih dari satu. Sebagai contoh, jika pita DNA pada bahan usapan vagina ada 6 buah, maka sedikitnya ada (6 : 2) yaitu 3 orang pelaku. Untuk mempertinggi derajat keakuratan pemeriksaan ini, umumnya dilakukan pemeriksaan beberapa lokus sekaligus. Adanya pita yang sama dengan tersangka menunjukkan bahwa tersangka itu adalah pelakunya, sedang pita yang tidak sama menyingkirkan tersangka sebagai pelaku (Atmadja, 2009).
Ditemukannya metode penggandaan DNA secara enzimatik (metode Polymerase Chain Reaction atau PCR) oleh kelompok Cetus, membuka lebih banyak kemungkinan pemeriksaan DNA. Dengan metode ini bahan sampel yang amat minim jumlahnya tidak lagi menjadi masalah karena DNAnya dapat diperbanyak jutaan sampai milyaran kali lipat di dalam mesin yang dinamakan mesin PCR atau thermocycler. Dengan metode ini waktu pemeriksaan juga banyak dipersingkat, lebih sensitif serta lebih spesifik pula. Pada metode ini analisis DNA dapat dilakukan dengan sistim dotblot yang berbentuk bulatan berwarna biru, sistim elektroforesis yang berbentuk pita DNA atau dengan pelacakan urutan basa dengan metode sekuensing (Atmadja, 2009).
Pemecahan kasus pemerkosaan dapat dilakukan dengan menganalisa DNA yang terdapat pada sperma yang tertinggal dalam vagina korban. Untuk kasus pemerkosaan diperiksa spermanya tetapi yang lebih utama adalah kepala spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel didalamnya. Sedangkan jika di TKP ditemukan satu helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal ada akarnya. Namun untuk DNA mitokondria tidak harus ada akar, cukup potongan rambut karena diketahui bahwa pada ujung rambut terdapat DNA mitokondria sedangkan akar rambut terdapat DNA inti sel. Bagian-bagian tubuh lainnya yang dapat diperiksa selain epitel bibir, sperma dan rambut adalah darah, daging, tulang dan kuku (Putra, 2007).
Pada pengambilan sampel dibutuhkan kehati-hatian dan kesterilan peralatan yang digunakan. Setelah didapat sampel dari bagian tubuh tertentu, maka dilakukan isolasi untuk mendapatkan sampel DNA. Bahan kimia yang digunakan untuk isolasi adalah Phenolchloroform dan Chilex. Phenolchloroform. Tahapan selanjutnya adalah sampel DNA dimasukkan kedalam mesin PCR. Langkah dasar penyusunan DNA fingerprint dengan PCR yaitu dengan amplifikasi (pembesaran) sebuah set potongan DNA yang urutannya belum diketahui. Prosedur ini dimulai dengan mencampur sebuah primer amplifikasi dengan sampel genomik DNA. Satu nanogram DNA sudah cukup untuk membuat plate reaksi (Putra, 2007).
Primer amplifikasi tersebut kemudian digunakan untuk penjiplakan pada sampel DNA yang mempunyai urutan basa yang cocok. Hasil akhirnya berupa kopi urutan DNA lengkap hasil amplifikasi dari DNA sampel. Selanjutnya kopi urutan DNA akan dikarakterisasi dengan elektroforesis untuk melihat pola pitanya. Karena urutan DNA setiap orang berbeda maka jumlah dan lokasi pita DNA (pola elektroforesis) setiap individu juga berbeda. Pola pita inilah yang dimaksud DNA fingerprint (Putra, 2007).
Gel dengan DNA yang sudah terfraksinasi berdasarkan ukurannya diterapkan pada lembaran kertas nitrosellulosa sehingga DNA tersebut dapat melekat secara tetap pada lembaran tersebut. Lembaran ini disebut Southern blot. Untuk menganalisis suatu southern blot digunakan suatu probe genetik radioaktif  yang akan melakukan reaksi hibridisasi dengan DNA yang dipertanyakan. Jika suatu sinar-X dikenakan pada southern blot, setelah probe-radioaktif dibiarkan berikatan dengan DNA yang telah terdenaturasi pada kertas, hanya area di mana probe radioaktif berikatan yang terlihat pada film. Keadaan ini yang memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi DNA seseorang dari kejadian dan frekwensi pemunculan pola genetik khusus yang terkandung pada probe (Subandi, 2001).
Finishing dari metode ini adalah mencocokkan tipe-tipe DNA fingerprint dengan pemilik sampel jaringan (tersangka pelaku kejahatan). Pada kasus perkosaan ditemukannya pita-pita DNA dari benda bukti atau korban yang ternyata identik dengan pita-pita DNA tersangka menunjukkan bahwa tersangkalah yang menjadi donor sperma tadi. Adanya kemungkinan percampuran antara sperma pelaku dan cairan vagina tidak menjadi masalah, karena pada proses kedua jenis DNA ini dapat dipisahkan satu sama lain. Satu-satunya kesalahan yang mungkin terjadi adalah kalau pelakunya ternyata adalah saudara kembar identik dari si tersangka, karena keduanya memiliki pita DNA yang sama persis (Atmadja, 2009).
 
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, tt. Metode Analisis DNA Finger printing Metode RFLP (Restriction Fragment length Polymorphism), (cited 2010 Nov, 25).
Available from:
http://www.scribd.com/mobile/documents/40166464?query=metode+analisis+dna+finger+printing+metode+rflp+%28restriction+fragment+length+polymorphism%29

Atmadja, D.A. 2009. Pemeriksaan Forensik pada Kasus Perkosaan dan Delik Aduan, (cited 2010 Nov, 29).
Available from : http://reproduksiumj..com/2009/12/pemeriksaan-forensik-pada-kasus.html

BNN. 2008. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium Narkotika, Psikotropik, dan Obat Berbahaya. Jakarta : BNN.

Kuntawiaji. tt. Aspek Medikolegal Pertolongan Kecelakaan, (cited 2010 Nov, 29).
          Available at : http://kuntawiaji.tumblr.com/post/274685901/aspek-medikolegal-pertolongan-kecelakaan

Moffat, C. A., D. Osselton, and B. Widdop. 2005. Clarke’s Analysis of Drugs and Poisons in Pharmaceutical, Body Fluids, and Post-Mortem Material. 3rd Edition. London: The Pharmaceutical Pres

Peat, M.A. 1988. Analyticaland Technical Aspects of Testing for Drug Abuse: Confirmatory Procedures. J. Clin. Chem. Chic : 34/3, 471-473.

Putra, 2007. DNA fingerprint, Metode Analisis Kejahatan pada Forensik, (cited 2010 Nov, 25)
Availale from :
http://www.biotek.lipi.go.id/index.php?view=article&catid=8&id=315%3ADNA+fingerprint%2C+Metode+Analisis+Kejahatan+pada+Forensik&format=pdf

Subandi, 2001. Sidik Jari DNA Forensik : Teknologi, Penerapan, dan Implikasinya, (cited 2010 Nov, 29)
          Available from : http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/02201/nursamran.htm

Sukasediati, N. dan Matta Sinta Sari W. 1987. EMIT: Salah Satu Cara Penetapan Obat dalam Serum untuk Pemantauan Kadar Terapi. Jakarta: Departemen Kesehatan Indonesia

Suwarso. 2002. Manajemen Laboratoris Penyalahgunaan Obat dan Komplikasinya. Yogyakarta: Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito
Wirasuta. 2008. Aspek-aspek Teknis Pemeriksaan Skrining dan Konfirmasi dalam Peningkatan Mutu Program PME. Disampaikan pada: Rapat Konsultasi Pemantapan Mutu Eksternal Laboratorium Kesehatan Denpasar, 31 Juli – 2 Agustus 2008.

2 komentar:

  1. terima kasih atas informasinya. Semua beritanya terlihat menarik untuk di simak, mohon kunjungi juga website kami, kami tunggu. Terimakasih.

    BalasHapus
  2. Sebentar lagi hari raya idul adha akan tiba, jangan lupa puasa arafah bagi yang muslim, semoga tahun ini membawa berkah dan kebahagiaan. Keep posting, gan..

    BalasHapus