Dugaan
Perkosaan Menggunakan Obat
oleh
Made Chandra Wrasmitha Dewi, I M.A. Gelgel Wirasuta
Jurusan Farmasi Udayana
Jurusan Farmasi Udayana
KASUS :
Dua orang tersangka dituduh
memperkosa perempuan yang mereka undang ke apartemen mereka. Mereka mengklaim
bahwa korban minum sehingga mabuk dan tidak sadarkan diri dalam rentang waktu
30 menit setelah kedatangannya, dimana dia berimajinasi telah diperkosa. Korban
tersadar empat jam kemudian.
Korban bersaksi bahwa dia memang meminum
dua bir dan satu skochi selama 2,5 jam. Setelah dia berhenti minum, dia
merasakan pusing dan tidak sadarkan diri. Dia terjaga dan merasa sedang
diperkosa, namun rasanya seperti mimpi dan dia tidak bisa berbicara atau bergerak.
PENYELESAIAN
:
Menurut KUHP pasal 285 perkosaan adalah dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan.
Termasuk dalam kategori kekerasan disini adalah dengan sengaja membuat orang
pingsan atau tidak berdaya (pasal 89 KUHP). Hukuman maksimal untuk delik
perkosaan ini adalah 12 tahun penjara (Atmadja, 2009).
Mengungkap suatu kasus perkosaan
pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk
mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi. Terkait
dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis
mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan
bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar
terjadi suatu tindak pidana perkosaan. Keterangan
dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan
medis yang disebut dengan visum et repertum (Atmadja, 2009).
Visum et Repertum adalah keterangan
yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil
pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati, ataupun bagian/diduga
bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk
kepentingan peradilan. Penegak
hukum mengartikan Visum et Repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter
berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan
tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang
sebaik-baiknya (Kuntawiaji, tt).
Untuk mengetahui apakah korban diperkosa, maka harus
dilakukan pemeriksaan antara lain tanda kekerasan dan tanda persetubuhan.
1.
Tanda
Kekerasan
Yang dimaksud dengan kekerasan pada delik susila
adalah kekerasan yang menunjukkan adanya unsur pemaksaan, seperti jejas bekapan
pada hidung, mulut dan bibir, jejas cekik pada leher, kekerasan pada kepala,
luka lecet pada punggung atau bokong akibat penekanan, memar pada lengan atas
dan paha akibat pembukaan secara paksa, luka lecet pada pergelangan tangan
akibat pencekalan dsb (Atmadja, 2009).
Pemeriksaan toksikologi untuk beberapa jenis
obat-obatan yang umum digunakan untuk membuat orang mabuk atau pingsan perlu
pula dilakukan, karena tindakan membuat orang mabuk atau pingsan secara sengaja
dikategorikan juga sebagai kekerasan. Obat-obatan yang perlu diperiksa adalah
obat penenang, alkohol, obat tidur, obat perangsang (termasuk ecstasy) dsb
(Atmadja, 2009). Untuk uji toksikologi untuk mengetahui apakah pada minuman
korban diberikan obat penenang, maka dilakukan uji sebagai berikut (dimisalkan raped drug yang digunakan diazepam):
a.
Uji skrinning
Uji skrinning adalah pemeriksaan pendahuluan
laboratorium sebagai upaya penyaring untuk mengetahui ada atau tidaknya dan
jenis obat yang menimbulkan efek toksis atau efek gangguan kesehatan. Dalam
deteksi penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, uji skrining dilakukan untuk
menentukan golongan analit (narkotika dan psikotropika) yang digunakan. Hasil
dari uji skrining dapat dijadikan dasar dugaan atau hanya sebagai petunjuk dan
bukan merupakan bukti yang kuat bahwa seseorang telah mengkonsumsi narkotika
dan psikotropika karena uji skrining belum mampu mendeteksi jenis zat narkotika
dan psikotropika spesifik yang terkandung di dalam sampel (Wirasuta, 2008).
Pemeriksaan skrining positif berarti suatu obat atametabolitnya terdapat dalam
darah sebanyak atau lebih banyak dari batas deteksi alat (BNN, 2008).
Alat yang dapat
digunakan untuk melakukan uji skrinning dan hanya memerlukan waktu sesaat untuk
membaca hasilnya secara manual adalah strip
test. Strip test
merupakan teknik immunoassay dengan
menggunakan dasar reaksi imunologi antara antigen dan antibodi (Sukasediati dan
Matta, 1987). Hasil
dinyatakan - (negatif) bila tampak dua garis pada huruf C (zona kontrol
validitas) dan T (zona tes/uji), sedangkan hasil dinyatakan + (positif) bila
tampak satu garis pada huruf C (zona kontrol validitas) (Suwarso,
2002).
Pada kasus di atas, sampel darah korban di ambil
kemudian diteteskan ke alat strip test,
apabila strip test menunjukkan hasil
positif bahwa pada darah korban mengandung obat golongan benzodiazepin (BZD)
yang memiliki efek sedatif-hipnotika, maka selanjutnya dilakukan uji konfirmasi
untuk memastikan jenis zat narkotika dan
psikotropika yang terkandung di dalam sampel tersebut.
b.
Uji konfirmasi
Pemeriksaan konfirmasi adalah suatu
pemeriksaan lanjutan yang lebih akurat karena hasil yang dikeluarkan sudah
definitif menunjukkan jenis zat narkotika psikotropika yang terkandung di dalam
sampel tersebut. Pemeriksaan dilakukan apabila hasil pemeriksaan pendahuluan
(screening test) memberi hasil positif (BNN, 2008).
Uji konfirmasi atau
pemastian senyawa BZD dapat dilakukan dengan GC-MS (Gas Chromatography- Mass Spectra) atupun
KLT-Spektrofotodensitometri.
Kelebihan dari GC-MS, antara lain GC-MS sensitif karena mampu mendeteksi kadar obat < 1µg/L dan membutuhkan waktu
pengerjaan yang relatif singkat. Sedangkan kelemahannya adalah memerlukan
derivatisasi sampel dan biaya operasional GC-MS relatif mahal. Kelebihan metode
KLT-Spektrofotodensitometri adalah biaya operasional yang lebih murah dan tidak
membutuhkan derivatisasi sampel sedangkan kelemahannya adalah limit deteksi
yang besar (Peat, 1988). Sistem fase gerak yang digunakan adalah TAEA dan TD. Dari hasil uji
konfirmasi ini akan diketahui jenis zat golongan benzodiazepin yang terdapat pada
sampel, contohnya pada sampel darah diketahui positif mengandung diazepam.
Untuk mengetahui apakah pada saat kejadian korban berada di bawah pengaruh obat
diazepam, maka perlu dilakukan penetapan kadar.
c.
Penetapan kadar
Diazepam
memiliki waktu paruh 20-40 jam, diekskresikan sebanyak 70% dalam bentuk utuh di
urin. Diazepam diabsorbsi secara cepat dan menyeluruh setelah konsumsi oral
dengan puncak kadar plasma dicapai dalam waktu 30-90 menit. Reaksi Metabolik adalah
N demetilasi, 3 hidroksilasi dan konjugasi asam glukoronat. Metabolit aktif
adalah desmetildiazepam serta oxazepam dan tenazepam. Ekskresi terutama dalam
bentuk metabolitnya dalam urin. Ekskresinya lambat, 71 % dari dosis terdeteksi
di urin, 10 % di feses. Diazepam dan N-desmetildiazepam tetap ada di dalam
darah setelah pemberian dosis dalam waktu yang lama (BNN, 2008).
Penetapan
kadar dilakukan untuk mengetahui kadar diazepam dalam darah. Penetapan kadar
dapat dilakukan dengan metode KLT-Spektrofotodensitometri. Apabila analisis
dilakukan 5 jam setelah kejadian dan hasil tes menunjukkan bahwa kadar diazepam
dalam darah korban sebesar 0,44 mg/L (Cp), maka untuk mengetahui kadar diazepam
dalam darah ketika kejadian, maka dilakukan perhitungan runut balik.
Perhitungan runut balik dilakukan dengan bantuan waktu paruh farmakokinetik, yaitu dengan dengan
asumsi waktu paruh diazepam 20 jam, maka : Apabila
telah diketahui nilai k. Berdasarkan
literatur, kadar diazepam yang menimbulkan efek dalam plasma adalah 0,1 sampai
1,0 mg/L (Moffat et al., 2005). Ini
berarti pada minuman korban telah positif dicampur dengan diazepam dan pada
saat kejadian korban berada di bawah pengaruh obat tersebut.
2.
Tanda
Persetubuhan
Tanda persetubuhan secara garis besar dapat
dibagi dalam tanda penetrasi dan tanda ejakulasi. Tanda penetrasi biasanya
hanya jelas ditemukan pada korban yang masih kecil atau belum pernah melahirkan
atau nullipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat menyebabkan terjadinya
robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5 sampai 7, luka lecet,
memar sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir kemaluan maupun
daerah perineum. Tidak ditemukannya luka-luka tersebut pada korban yang bukan
nulipara tidak menyingkirkan kemungkinan adanya penetrasi (Atmadja, 2009).
Tanda ejakulasi bukanlah tanda yang harus
ditemukan pada persetubuhan, meskipun adanya ejakulasi memudahkan kita secara
pasti menyatakan bahwa telah terjadi persetubuhan. Ejakulasi dibuktikan dengan
pemeriksaan ada tidaknya sperma dan komponen cairan mani. Usapan lidi kapas
(swab vagina) diambil dari daerah labia minora, liang vagina dan kulit yang
menunjukkan adanya kerak. Adanya rambut kemaluan yang menggumpal harus diambil
dengan cara digunting, karena umumnya merupakan akibat ejakulasi di daerah luar
vagina (Atmadja, 2009).
Untuk mendeteksi ada tidaknya sel mani dari
bahan swab dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopik secara langsung terhadap
ekstrak atau dengan pembuatan preparat tipis yang diwarnai dengan pewarnaan
malachite green atau christmas tree. Jika yang akan diperiksa sampel berupa
bercak peda pakaian dapat dilakukan pemeriksaan Baechi, dimana adanya sperma
akan tampak berupa sel sperma yang terjebak diantara serat pakaian. Sel sperma
positip merupakan tanda pasti adanya ejakulasi. Kendala utama pada pemeriksaan
ini adalah jika sel sperma telah hancur bagian ekor dan lehernya sehingga hanya
tampak kepalanya saja. Untuk mendeteksi kepala sperma semacam ini harus diyakini
bahwa memang kepala tersebut masih memiliki topi (akrosom). Dengan adanya
sperma ini, maka dapat diketahui DNA pelaku pemerkosaan (Atmadja, 2009).
DNA (deoxyribonucleic
acid) merupakan jenis asam nukleat yang menyimpan semua informasi genetika
manusia (Putra, 2007). DNA merupakan blueprint segala aktivitas sel yang
nanti diturunkan ke generasi berikutnya. Jadi secara garis besar, peran DNA di
dalam sebuah sel adalah sebagai materi genetik. DNA umumnya terletak di dalam
inti sel. Sehingga DNA juga berperan dalam menentukan jenis rambut, warna
kulit, dan sifat-sifat khusus manusia. Jadi, seorang anak pasti memiliki ciri
tidak jauh berbeda dengan orang tuanya. Hal ini disebabkan karena komposisi
DNA-nya sama dengan sang orang tua. Struktur DNA terdiri atas dua untai yang
berpilin membentuk struktur double helix. Satu untai berasal dari ibu
dan satu untai lagi dari ayah. Masing-masing untai terdiri atas rangka utama
dan basa nitrogen yang menyatukan dengan untai DNA lain (Anonim, tt).
DNA fingerprinting adalah teknik untuk
mengidentifikasi seseorang berdasarkan pada profil DNAnya. Ada 2 aspek DNA yang
digunakan dalam DNA fingerprinting, yaitu di dalam satu individu
terdapat DNA yang seragam dan variasi genetik terdapat diantara individu. Prosedur
DNA fingerprinting memiliki kesamaan dengan mencocokkan sidik jari seseorang
dengan orang lain. Hanya saja perbedanya adalah proses ini dilakukan tidak
menggunakan sidik jari, tetapi menggunakan DNA individu karena secara individu
DNA seseorang itu unik. Digunakan DNA karena DNA memiliki materi hereditas yang
berfungsi untuk menentukan suatu urutan keturunan dalam suatu keluarga secara
turun-menurun dengan pola yang acak (karena berasal dari fusi inti ovum dan
sperma) sehingga dapat digunakan untuk identifikasi pelaku kejahatan walaupun
telah berganti wajah (Anonim, tt).
Pemeriksaan DNA dalam bidang
forensik pertama kali diperkenalkan oleh Jeffrey pada tahun
1985. Beliau menemukan bahwa pita DNA dari setiap individu dapat dilacak secara
simultan pada banyak lokus sekaligus dengan pelacak DNA (DNA probe) yang
diciptakannya. Pola DNA ini dapat divisualisasikan berupa urutan pita-pita yang
berbaris membentuk susunan yang mirip dengan gambaran barcode pada barang di
supermarket. Uniknya ternyata pita-pita DNA ini bersifat spesifik individu,
sehingga tak ada orang yang memiliki pita yang sama persis dengan orang lain (Atmadja,
2009).
Perkembangan lebih lanjut pada bidang forensik adalah
ditemukannya pelacak DNA yang hanya melacak satu lokus saja (single locus probe). Berbeda dengan
teknik Jeffreys yang menghasilkan banyak pita, disini pita yang muncul hanya 2
buah saja. Penggunaan metode ini pada kasus perkosaan sangat menguntungkan
karena ia dapat digunakan untuk membuat perkiraan jumlah pelaku pada kasus
perkosaan dengan pelaku lebih dari satu. Sebagai contoh, jika pita DNA pada
bahan usapan vagina ada 6 buah, maka sedikitnya ada (6 : 2) yaitu 3 orang
pelaku. Untuk mempertinggi derajat keakuratan pemeriksaan ini, umumnya
dilakukan pemeriksaan beberapa lokus sekaligus. Adanya pita yang sama dengan
tersangka menunjukkan bahwa tersangka itu adalah pelakunya, sedang pita yang
tidak sama menyingkirkan tersangka sebagai pelaku (Atmadja,
2009).
Ditemukannya metode penggandaan DNA secara enzimatik
(metode Polymerase Chain Reaction atau
PCR) oleh kelompok Cetus, membuka lebih banyak kemungkinan pemeriksaan DNA.
Dengan metode ini bahan sampel yang amat minim jumlahnya tidak lagi menjadi
masalah karena DNAnya dapat diperbanyak jutaan sampai milyaran kali lipat di
dalam mesin yang dinamakan mesin PCR atau thermocycler. Dengan metode ini waktu
pemeriksaan juga banyak dipersingkat, lebih sensitif serta lebih spesifik pula.
Pada metode ini analisis DNA dapat dilakukan dengan sistim dotblot yang
berbentuk bulatan berwarna biru, sistim elektroforesis yang berbentuk pita DNA
atau dengan pelacakan urutan basa dengan metode sekuensing (Atmadja,
2009).
Pemecahan kasus pemerkosaan dapat dilakukan
dengan menganalisa DNA yang terdapat pada sperma yang tertinggal dalam vagina
korban. Untuk kasus pemerkosaan diperiksa spermanya tetapi yang lebih utama
adalah kepala spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel didalamnya. Sedangkan
jika di TKP ditemukan satu helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal
ada akarnya. Namun untuk DNA mitokondria tidak harus ada akar, cukup potongan
rambut karena diketahui bahwa pada ujung rambut terdapat DNA mitokondria
sedangkan akar rambut terdapat DNA inti sel. Bagian-bagian tubuh lainnya yang
dapat diperiksa selain epitel bibir, sperma dan rambut adalah darah, daging, tulang
dan kuku (Putra, 2007).
Pada pengambilan sampel dibutuhkan kehati-hatian
dan kesterilan peralatan yang digunakan. Setelah didapat sampel dari bagian
tubuh tertentu, maka dilakukan isolasi untuk mendapatkan sampel DNA. Bahan
kimia yang digunakan untuk isolasi adalah Phenolchloroform dan Chilex.
Phenolchloroform. Tahapan selanjutnya adalah sampel DNA dimasukkan
kedalam mesin PCR. Langkah dasar penyusunan DNA fingerprint dengan PCR
yaitu dengan amplifikasi (pembesaran) sebuah set potongan DNA yang urutannya
belum diketahui. Prosedur ini dimulai dengan mencampur sebuah primer
amplifikasi dengan sampel genomik DNA. Satu nanogram DNA sudah cukup untuk
membuat plate reaksi (Putra, 2007).
Primer amplifikasi tersebut kemudian digunakan
untuk penjiplakan pada sampel DNA yang mempunyai urutan basa yang cocok. Hasil
akhirnya berupa kopi urutan DNA lengkap hasil amplifikasi dari DNA sampel. Selanjutnya kopi urutan
DNA akan dikarakterisasi dengan elektroforesis untuk melihat pola pitanya.
Karena urutan DNA setiap orang berbeda maka jumlah dan lokasi pita DNA (pola
elektroforesis) setiap individu juga berbeda. Pola pita inilah yang dimaksud
DNA fingerprint (Putra, 2007).
Gel dengan DNA yang sudah
terfraksinasi berdasarkan ukurannya diterapkan pada lembaran kertas nitrosellulosa
sehingga DNA tersebut dapat melekat secara tetap pada lembaran tersebut. Lembaran
ini disebut Southern blot.
Untuk menganalisis suatu southern blot digunakan suatu probe
genetik radioaktif yang akan melakukan reaksi hibridisasi dengan DNA yang
dipertanyakan. Jika suatu sinar-X dikenakan pada southern blot, setelah probe-radioaktif
dibiarkan berikatan dengan DNA yang telah terdenaturasi pada kertas, hanya area
di mana probe radioaktif berikatan
yang terlihat pada film. Keadaan ini yang memungkinkan peneliti untuk
mengidentifikasi DNA seseorang dari kejadian dan frekwensi pemunculan pola
genetik khusus yang terkandung pada probe
(Subandi, 2001).
Finishing dari metode ini adalah mencocokkan
tipe-tipe DNA fingerprint dengan pemilik sampel jaringan (tersangka
pelaku kejahatan). Pada kasus perkosaan
ditemukannya pita-pita DNA dari benda bukti atau korban yang ternyata identik
dengan pita-pita DNA tersangka menunjukkan bahwa tersangkalah yang menjadi
donor sperma tadi. Adanya kemungkinan percampuran antara sperma pelaku dan
cairan vagina tidak menjadi masalah, karena pada proses kedua jenis DNA ini
dapat dipisahkan satu sama lain. Satu-satunya kesalahan yang mungkin terjadi
adalah kalau pelakunya ternyata adalah saudara kembar identik dari si
tersangka, karena keduanya memiliki pita DNA yang sama persis
(Atmadja, 2009).
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim, tt. Metode Analisis DNA Finger printing Metode RFLP (Restriction Fragment
length Polymorphism), (cited 2010 Nov, 25).
Available from:
http://www.scribd.com/mobile/documents/40166464?query=metode+analisis+dna+finger+printing+metode+rflp+%28restriction+fragment+length+polymorphism%29
Atmadja,
D.A. 2009. Pemeriksaan Forensik pada
Kasus Perkosaan dan Delik Aduan, (cited
2010 Nov, 29).
Available from :
http://reproduksiumj..com/2009/12/pemeriksaan-forensik-pada-kasus.html
BNN. 2008. Pedoman
Pemeriksaan Laboratorium Narkotika, Psikotropik, dan Obat Berbahaya. Jakarta : BNN.
Kuntawiaji. tt. Aspek Medikolegal
Pertolongan Kecelakaan, (cited 2010 Nov, 29).
Available at :
http://kuntawiaji.tumblr.com/post/274685901/aspek-medikolegal-pertolongan-kecelakaan
Moffat, C. A.,
D. Osselton, and B. Widdop. 2005. Clarke’s
Analysis of Drugs and Poisons in Pharmaceutical, Body Fluids, and Post-Mortem
Material. 3rd Edition. London: The Pharmaceutical Pres
Peat, M.A. 1988. Analyticaland
Technical Aspects of Testing for Drug Abuse: Confirmatory Procedures. J.
Clin. Chem. Chic : 34/3, 471-473.
Putra, 2007. DNA fingerprint, Metode Analisis Kejahatan pada Forensik, (cited 2010 Nov, 25)
Availale from :
http://www.biotek.lipi.go.id/index.php?view=article&catid=8&id=315%3ADNA+fingerprint%2C+Metode+Analisis+Kejahatan+pada+Forensik&format=pdf
Subandi, 2001. Sidik
Jari DNA Forensik : Teknologi, Penerapan, dan Implikasinya, (cited 2010 Nov, 29)
Available
from : http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/02201/nursamran.htm
Sukasediati, N. dan Matta Sinta Sari W. 1987. EMIT: Salah Satu Cara Penetapan Obat dalam
Serum untuk Pemantauan Kadar Terapi. Jakarta: Departemen Kesehatan Indonesia
Suwarso.
2002. Manajemen Laboratoris
Penyalahgunaan Obat dan Komplikasinya. Yogyakarta: Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada/Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito
Wirasuta.
2008. Aspek-aspek Teknis Pemeriksaan
Skrining dan Konfirmasi dalam Peningkatan Mutu Program PME. Disampaikan
pada: Rapat Konsultasi Pemantapan Mutu Eksternal Laboratorium Kesehatan
Denpasar, 31 Juli – 2 Agustus 2008.
terima kasih atas informasinya. Semua beritanya terlihat menarik untuk di simak, mohon kunjungi juga website kami, kami tunggu. Terimakasih.
BalasHapusSebentar lagi hari raya idul adha akan tiba, jangan lupa puasa arafah bagi yang muslim, semoga tahun ini membawa berkah dan kebahagiaan. Keep posting, gan..
BalasHapus