Minggu, 31 Januari 2010

Obat Palsu di Indonesia

oleh : I M.A. Gelgel Wirasuta, N.K. Sri Dewi, N.P. Eni Parmiati, dan I.A. K. Wardani

Abstrak

Perkembangan kasus obat palsu di Indonesia dari tahun ke tahun tidak menunjukkan kenaikan atau penurunan yang signifikan dari segi kuantitas. Namun jika dilihat dari penyebarannya, menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini tentu saja berdampak buruk bagi masyarakat, baik dari segi finansial maupun kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan antisipasi dari pemerintah untuk mengontrol agar tidak terjadi pemalsuan obat dan pemerintah juga diharapkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat dalam pemilihan obat, sehingga kesehatan masyarakat lebih terjamin.

Kata kunci : obat palsu, kuantitas, finansial.

Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mendorong maraknya kasus pemalsuan obat di Indonesia. Tindak pemalsuan obat yang semakin merajalela disebabkan karena penanggulangan tindak pemalsuan obat belum dikoordinasikan secara sistematis, sehingga belum berdampak nyata terhadap kasus pemalsuan dan peredaran obat palsu. Hukuman maupun denda yang dijatuhkan pada tersangka pemalsu obat masih tergolong ringan, terkadang hanya berupa masa percobaan, sehingga hal ini tidak membuat mereka jera karena keuntungan yang diperoleh dari memalsukan obat begitu menggiurkan

Pengertian Obat Palsu

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 242 Tahun 2000, yang dikategorikan sebagai obat palsu adalah obat yang diproduksi pihak yang tak berhak menurut Undang-Undang. Ada lima macam obat palsu, yaitu :

1. Produk mengandung bahan berkhasiat dengan kadar yang memenuhi syarat, diproduksi, dikemas dan diberi label seperti produk aslinya, tetapi bukan dibuat oleh pabrik aslinya.

2. Obat yang mengandung bahan berkhasiat dengan kadar yang tidak memenuhi syarat.

3. Produk dibuat dengan bentuk dan kemasan seperti produk asli, tetapi tidak mengandung bahan berkhasiat.

4. Produk yang menyerupai produk asli, tapi mengandung bahan berkhasiat yang berbeda.

5. Produk yang diproduksi tidak berijin (Anonim a, 2008).

Produk impor yang tidak resmi dapat dikelompokkan sebagai obat palsu sebab tanpa memiliki izin edar yang dikeluarkan Badan POM sesuai dengan Peraturan Menkes No 949/Menkes/SK/VI/2000.

Pedoman Umum Deteksi Obat Palsu

Untuk mendeteksi suatu obat dikatakan palsu, dapat dilakukan pemeriksaan melalui dua tahap, yaitu :

a. Pemeriksaan tahap I

1. Pemeriksaan dikukan seperti tercantum dalam uji organoleptik.

2. Pemeriksaan dilakukan terhadap sampel obat yang diduga palsu.

3. Sampel obat dapat berasal dari sampel obat beredar yang diambil dari sarana produksi, distribusi, dan pelayanan obat atau laporan masyarakat atau siumber lain.

4. Pemeriksaan secara organoleptik meliputi antara lain:

- Keadaan fisik sampel, misalnya tablet tidak rata,

- Kemasan, misalnya strip berbeda dengan yang asli,

- Penandaan misalnya pencantuman nomor registrasi yang berbeda,

5. pemeriksaan dilanjutkan ke tahap II apabila hasil pemeriksan tahap I diyakini sampel obat mengandung obat palsu.

b. Pemeriksaan tahap II

1. Pemeriksaan dilakukan oleh BPOM

2. Terhadap obat yang diduga palsu dilakukan pengujian di BPOM di mana obat diambil/ditemukan.

3. Pengujian dilakukan berdasarkan pedoman pengujian.

4. Hasil pengujian doilaporkan kepada Direktorat Pengawasan Obat dan Alat Kesehatan, Dirjen POM, disertai dengan sampel obat pemeriksaan tahap III.

5. Terhadap sampel obat yang diduga palsu dilakuakn pengamanan sementara di tempat disertai pembuatan Berita Acara.

6. Penelusuran sumber/asal-usul sampel obat tersebut.

c. Pemeriksaan tahap III

1. Untuk proses tindak lanjut, maka dilakukan pemeriksaan tahap III

2. Pemeriksaan meliputi:

· Oleh Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan

Apabila diperlukan, maka dilakuakn pengujian kembali terhadap sampel obat yang diduga palsu yang berasal dari BPOM atau sumber lain.

· Oleh Drektorat Pengawasan Obat dan Alat Kesehatan.

Dilakukan evaluasi terhadap kemasan dan penandaan dengan membandingkan dengan obat asli dan bila perlu dikonfirmasikan dengan produsen obat yang asli

Sanksi pemalsu obat menurut Undang-undang (UU) Perlindungan Konsumen Tahun 1999 sebenarnya lumayan berat. Pelaku diancam pidana maksimal lima tahun dan denda Rp 2 milyar.

Berdasarkan pada Undang Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yaitu Pasal 40 ayat (1), yang berbunyi “Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya”.dan Pasal 63 ayat(1), yang berbunyi “Pekerjaan kefarmasiaan dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.”

Pasal 80 ayat (2) yang berbunyi: Barang siapa dengan sengaja menghimpun dana dari masyarakat untuk menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan, yang tidak berbentuk badan hukum dan tidak memiliki izin operasional serta tidak melaksanakan ketentuan tentang jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 80 ayat (4) Barang siapa dengan sengaja :

a. mengedarkan makanan dan atau minuman yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan dan ataumembahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3);

b. memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) (Anonim c, 2008).


Penegakan hukum dalam soal obat palsu ini, juga sangat lemah., sanksi yang dijatuhkan pengadilan untuk pelaku pemalsuan obat, sangat ringan. Misalnya, hukuman percobaan selama dua bulan atau denda beberapa ratus ribu rupiah. Padahal, omzet penjualan obat palsu itu sangat besar. Sanksi hukum yang ringan ini cukup mengherankan, sebab sanksi pemalsu obat menurut Undang-undang (UU) Perlindungan Konsumen Tahun 1999 sebenarnya lumayan berat. Pelaku diancam pidana maksimal lima tahun dan denda Rp 2 milyar. Sedangkan versi UU Kesehatan Tahun 1992, pemalsu bisa dikenakan kurungan penjara 15 tahun dan denda Rp 300 juta.


Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.00.05.1.3459 Tentang Pengawasan Pemasukan Obat Impor :

1. Izin Edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia.

2. Obat Impor adalah obat produksi industri farmasi luar negeri.

3. Pemasukan obat impor adalah importasi obat impor ke dalam wilayah Indonesia baik melalui pelabuhan laut maupun bandar udara.

4. Pendaftar adalah Industri Farmasi atau Pedagang Besar Farmasi yang telah mendapat izin usaha sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Permenkes No. 922/menkes/per/x/1993 tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin apotik, khususnya pada pasal 12 ayat 2 yang berbunyi: “obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena suatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan Direktur Jenderal”.

UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, khususnya bab III pasal 4 mengenai hak konsumen, yaitu

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

f. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Pasal 84 yang berbunyi: “Barang siapa mengedarkan makanan dan atau minuman yang dikemas tanpa mencantumkan tanda atau label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2); Serta pasal (5) yang berbunyi menyelenggarakan sarana kesehatan yang tidak memenuhipersyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) atau tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1); dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) (Anonim c, 2008).

Perkembangan Kasus Obat Palsu di Indonesia

Perkembangan kasus obat palsu di Indonesia dari tahun ke tahun tidak menunjukkan kenaikan atau penurunan yang signifikan dari segi kuantitas. Namun jika dilihat dari penyebarannya menunjukkan adanya peningkatan. Dalam kurun waktu 1999-2006 BPOM menemukan 89 merek obat yang dipalsukan di pasar domestik. Obat-obat tersebut tergolong laku di pasaran diantaranya antibiotik Super Tetra, obat demam Ponstan, dan antibiotik Amoxan. Data Badan POM menunjukkan, tahun 2003 sebanyak 268 kasus pelanggaran obat yang ditindaklanjuti kepolisian (projustisia). Pelanggaran itu meliputi peredaran obat keras di sarana tidak resmi (toko obat), obat palsu, maupun obat tanpa izin edar, tahun 2004 (219 kasus), tahun 2005 (266 kasus), dan tahun 2006 (146 kasus) (Anonim d, 2008).

Peredaran obat palsu hingga kini masih merajalela. Fakta tersebut sesuai dengan temuan Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) pekan lalu. Karena itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) diminta segera menertibkannya. produk yang dipalsukan antara lain berupa obat antihipertensi Norvask 5 mg ex Pfizer Indonesia (Anonim d, 2008).

Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pemalsuan Obat

Tidak dapat dipungkiri, maraknya pemalsuan obat berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Pelaku pemalsuan obat seakan-akan tidak menghiraukan akibat yang ditimbulkan dari tindakan pemalsuan yang mereka lakukan. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pemalsuan obat antara lain :

1. Perkembangan Teknologi

Canggihnya pemalsuan obat tidak terlepas pula dari kemajuan industri grafis. melihat perkembangan teknologi grafis tersebut berupa fotokopi warna, hologram, dan hires scanner, yang membuat produk palsu sulit dibedakan dengan aslinya.

2. Keinginan mendapatkan keuntungan

Praktik pemalsuan dan peredaran obat palsu sepenuhnya dimotivasi oleh “kerakusan” dan kepentingan bisnis atau keinginan mendapatkan keuntungan semata. Bagi pemalsu obat, memalsukan, mengedarkan, atau menjual obat palsu merupakan bisnis yang sangat menggiurkan dengan risiko yang relatif minim. Ini juga alasan mengapa yang paling banyak dipalsukan adalah obat-obat bermerek internasional yang umumnya mahal dan fast move (cepat laku). Maraknya pemalsuan dan perdagangan obat di indonesia menurut Direktur Eksekutif IPMG Parulian Simanjuntak, juga dilatari pertimbangan membuat obat palsu jauh lebih murah ketimbang mengembangkan sendiri obat originiter atau memproduksi obat paralelnya. Sebagai gambaran, untuk mengembangkan satu jenis obat saja, diperlukan dana investasi untuk riset sekitar 800 juta dollar AS hingga 1,2 miliar dollar AS. Pertimbangan mahalnya ongkos distribusi juga harus ditanggung dan beban pajak seperti pajak pertambahan nilai 10 persen. Sama halnya seperti pembuatan obat yang berasal dari obat-obat kadaluarsa juga akan diperoleh keuntungan yang besar jika obat-obat tersebut diedarkan ke masyarakat. Sehingga dapat dikatakan perlu biaya yang besar untuk membuat produk obat yang original dibandingkan dengan obat yang tidak diregristrasi dan juga pada kasus pendaurulangan obat dari obat “sampah”.

3. Sanksi yang diberikan pada pemalsu obat masih ringan

Masih tingginya peredaran obat palsu di Indonesia karena lemahnya kontrol dari pemerintah dalam memberikan sanksi kepada pelaku pemalsu obat. Selain pengontrolan yang lemah, pemerintah juga tidak memperbaiki regulasi obat. Pola industri farmasi tidak dikelola dengan benar sehingga perkembangannya melebihi kebutuhan obat di Indonesia. Penegakan hukum dalam soal obat palsu ini, juga sangat lemah., sanksi yang dijatuhkan pengadilan untuk pelaku pemalsuan obat, sangat ringan. Misalnya, hukuman percobaan selama dua bulan atau denda beberapa ratus ribu rupiah. Padahal, omzet penjualan obat palsu itu sangat besar. Sanksi yang ringan tidak menimbulkan efek jera, sanksi hukum yang ringan ini cukup mengherankan. Sebab, sanksi pemalsu obat menurut Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen Tahun 1999 sebenarnya lumayan berat. Pelaku diancam pidana maksimal lima tahun dan denda Rp 2 milyar. Sedangkan versi UU Kesehatan Tahun 1992, pemalsu bisa dikenai kurungan penjara 15 tahun dan denda Rp 300 juta (Anonim e, 2008).

Alur Peredaran Obat Palsu

Obat-obat yang berasal dari industri farmasi, distributor, sub-distributor, dan PBF (Pedagang Besar Farmasi), seharusnya tidak boleh langsung sampai ke tangan klinik, dokter, mantri, toko obat dan pribadi. Pemutihan disini artinya, obat-obat yang tidak memiliki izin edar diberikan kepada industri farmasi, distributor, sub-distributor, dan PBF , dimana oleh industri farmasi, distributor, sub-distributor, dan PBF obat-obat tersebut dibuatkan izin edar sehingga seolah-olah memang sejak awal memiliki izin edar, kemudian obat-obat ini diedarkan ke apotek dan rumah sakit, obat inilah yang disebut obat palsu. Peredaran obat palsu juga terjadi jika seseorang atau pribadi yang tidak berwenang dalam mendistribusikan obat, mengedarkan obat ke rumah sakit (Anonim f, 2008).

Tips Menghindari Obat Palsu

Langkah awal untuk mencapai hasil yang optimal dari suatu pengobatan adalah membeli atau memperoleh obat di tempat yang benar. Beberapa tips membeli obat yang baik untuk menghindari obat palsu adalah :

  1. Perhatikan nomor registrasi sebagai tanda sudah mendapat izin untuk dijual di Indonesia.
  2. Periksalah kualitas keamanan dan kualitas fisik produk obat tersebut.
  3. Periksalah nama dan alamat produsen, apakah tercantum dengan jelas.
  4. Teliti dan lihatlah tanggal kadaluwarsa.
  5. Untuk obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter (ethical/obat keras), belilah hanya di apotek berdasarkan resep dokter.
  6. Baca indikasi, aturan pakai, peringatan, kontra indikasi, efek samping, cara penyimpanan, dan semua informasi yang tercantum pada kemasan.
  7. Tanyakan informasi obat lebih lanjut pada apoteker di apotek.

Setelah membeli obat di tempat yang benar, penggunaan obat yang tepat merupakan faktor penting untuk memperoleh khasiat yang optimal dari suatu obat. Untuk itu, hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan obat, yaitu :

· Baca aturan pakai pada label/etiket setiap Anda akan menggunakan obat.

· Untuk menghindari kesalahan, jangan menggunakan obat di tempat gelap (Anonim g, 2008).

Kerugian Penggunaan Obat Palsu

Kerugian yang ditimbulkan akibat pemakain obat palsu yaitu :

1. Bagi pasien yang memerlukan pengobatan jangka panjang, obat palsu bisa berakibat sasaran pengobatan tidak tercapai. Misalnya saja, suatu obat dalam data statistik disebutkan bisa mengurangi serangan jantung sampai 25 persen atau mengurangi kemungkinan stroke hingga 30 persen. Namun, karena adanya penggunaan obat palsu, rentang persen tersebut tidak tercapai.

2. Pada kasus penggunaan antibiotika palsu menyebabkan terjadinya resistensi.

3. Obat palsu juga bisa menimbulkan penyakit lain pada pasien, misalnya alergi.

4. Dan yang paling fatal, obat palsu juga bisa merenggut nyawa.

5. Menyebabkan kerugian materi pada konsumen (Anonim h, 2008).

Upaya Pencegahan

Untuk menghindari obat palsu maka diperlukan upaya pencegahan sebagai berikut :

1. Adanya kerja sama antara pemerintah (Depkes, Badan POM, kepolisian, pengadilan, dan kejaksaan) dengan industri, importir, distributor, rumah sakit, organisasi profesi, tenaga medis, apotek, toko obat, konsumen, dan juga masyarakat.

2. Pemerintah harus memberikan jaminan kepada setiap warganya untuk dapat hidup sehat serta fasilitas yang memudahkan dalam mengakses kesehatan, termasuk jaminan terhadap mutu dan kualitasnya.

3. Pengontrolan harga obat di pasaran oleh pemerintah.

4. Memberikan informasi yang benar kepada masyarakat sehingga memeperluas pengetahuan tentang pemilihan obat (Anonim i, 2008).

PUSTAKA

Anief, Mohamad. 1997. Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Anonim a. 2008. Apa Itu Obat Palsu. Available at : http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id=28804 Opened : 23/11/2008, 09.18 am

Anonim b. 2008. Peran Apoteker dalam Penanganan Obat Palsu. Available at : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0112/27/JATIM/index.htm Opened : 28/11/2008, 06.18 pm

Anonim c. 2008. Undang-Undang yang Mengatur tentang Obat Palsu Available at :

http://125.160.76.194/data/peraturan/himp.%20cetak%2006/cetak%20himp.%20jilid%20v/rkm%20konas.doc

Opened : 23/11/2008, 11.22 am

Anonim d. 2008. Perkembangan Obat Palsu di Indonesia. Available at : http://www.koranindonesia.com/2008/04/25/obat-palsu-mengancam-masyarakat/ Opened : 23/11/2008, 10.09 am

Anonim e. 2008. Faktor-Faktor Pemalsuan Obat. Available at : http://www.mediaindo.co.id/ Opened : 23/11/2008, 10.18am

Anonim f. 2008. Peredaran Obat Palsu. Available at :

http://www.rmexpose.com/detail.php?id=3839&judul=10%20Persen%20Obat%20Palsu%20Beredar%20di%20Pasar

Opened : 23/11/2008, 10.20 am

Anonim g. 2008. Tips Menghindari Obat Palsu Available at :

http://www.cafepojok.com/forum/sendmessage.php?s=dbe244dc1fc0fe33a7f6b 84c5f245104 Opened : 22/11/2008, 02.24 pm

Anonim h. 2008. Kerugian Penggunaan Obat Palsu Available at :

http://www.indomedia.com/intisari/2001/Apr/obatpalsu.htm Opened : 28/11/2008, 06.01 pm

Anonim i. 2008. Pencegahan Obat Palsu Available at : http://www.masjidkotabogor.com/index.php/artikel/view/4 Opened : 23/11/2008, 10.10 am

Anonim j. 2008. Kasus Obat Palsu. Available at : http://www.tempo.co.id/

Opened : 23/11/2008, 10.00 am

Anonim k. 2008. Kasus Obat Palsu. Available at : http://118.97.48.164:8796/public/berita_aktual/data/taxegram.pdf Opened : 28/11/2008, 06.16 pm

Anonim l. 2008. Kasus Obat Palsu. Available at : http://www.kompas.co.id/ Opened : 23/11/2008, 10.00 am

Anonim m. 2008. Kasus Obat Palsu., Available at : http://www.mediaindo.co.id/, Opened : 24/11/2008, 12.24 am

Anonim n. 2000. Cara Cepat Deteksi Obat Palsu. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Anonim o. 2000. Metode Pemeriksaan Cepat untuk Mendeteksi Obat Palsu dan Obat Substandar Edisi ke-2. Japan International Corporation of Welfare Services. Japan.

Widjajanti, Nuraini. 1988. Obat-obatan. Kanisius. Semarang.

Sabtu, 09 Januari 2010

Fenomena Dokter Dispensing Menyebabkan Obat Lebih Mahal

by Ni Made Amelia Ratnata Dewi, Ni Wayan Agustini, and I M.A.G. Wirasuta

Sejak tahun 1240, bidang farmasi dipisahkan secara resmi dari bidang kedokteran dengan dikeluarkannya dekrit oleh raja Jerman Frederick II. Dekrit itu antara lain menyatakan, seorang tabib tidak boleh menguasai tempat penyimpanan obat atau melakukan bentuk eksploitasi apa pun terhadap penderita melalui hubungan bisnis penjualan obat. Pemisahan antara dokter dan apoteker merupakan konsep pengobatan modern yang berlaku saat ini sebagaimana berlaku di berbagai negara di dunia, yakni dokter menulis resep dan apoteker menyiapkan obat serta menyerahkannya pada pasien.

Dispensing berasal dari kata dispense yang dapat berarti menyiapkan, menyerahkan, dan mendistribusikan dalam hal ini adalah obat. Fenomena dokter dispensing sebenarnya bukan hal baru di dunia kesehatan Indonesia. Praktek ini telah berlangsung sedemikian lama dan menjadi kebiasaan. Hal yang tidak disadari oleh pasien bahwa sebenarnya praktek tersebut melanggar hukum jika di lingkungan tersebut terdapat apotek yang dapat dijangkau. Pada masa lalu, praktek ini dapat dimaklumi karena jumlah apotek yang sangat terbatas. Saat ini peraturan yang berlaku menyatakan bahwa praktek dispensing hanya boleh dilakukan pada kondisi yang sangat spesifik misalnya di daerah yang sangat terpencil. Hal ini dicantumkan dalam Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 35 ayat (1) huruf i dan j. Berdasarkan PP RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang termasuk pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Dengan adanya PP ini, maka dispensing merupakan salah satu pekerjaan kefarmasian.

Denpasar merupakan salah satu kota di Bali dengan tingkat penyimpangan praktek dokter dispensing yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Widnyana (2009), yang dilakukan pada tiap kecamatan di lingkungan kota Denpasar tersebut menunjukkan bahwa di Denpasar utara tingkat penyimpangan obat penyerahan obat oleh tenaga medis sebesar 60,00%, di Denpasar Selatan sebesar 62,27%, di Denpasar Barat tingkat penyimpangan obat oleh tenaga medisnya sebesar 72,27% sedangkan di Denpasar Timur sebesar 65,45%.

Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa dispensing obat oleh dokter tidak hanya dilakukan di pedesaan yang sangat jarang terdapat apotek, tetapi dilakukan di kota-kota besar yang terdapat banyak apotek. Praktek dispensing juga dapat membuka celah bagi oknum dokter untuk memberikan obat tertentu tanpa berdasarkan pertimbangan klinis yang benar karena tidak adanya pengawasan dari pihak ketiga. Kondisi ini makin diperburuk oleh industri farmasi yang menjalin hubungan bisnis dengan sebagian oknum dokter untuk meresepkan suatu jenis obat dengan merek tertentu. Praktek ini seharusnya dihentikan karena praktek dispensing dokter adalah ilegal dan dapat merugikan pasien

Adanya dokter dispensing obat ini merugikan pasien dari segi biaya dan pelayanan. Dari segi biaya menyebabkan harga obat lebih mahal. Sebagai contoh, seorang dokter umum memungut biaya pemeriksaan dan biaya obat pada pasien yang menderita demam rata-rata Rp. 50.000,00-. Jika biaya pemeriksaan sebesar Rp. 25.000,00- dan pasien diberikan obat antibiotik (Pehamoksilin®) dan penurun panas (Dumin®). Total harga obat tersebut di apotek adalah Rp. 10.000,00-. Jadi dokter mendapatkan keuntungan dari dispensing obat untuk 1 orang pasien sebesar Rp. 15.000,00-. Sehingga besarnya keuntungan dokter dari dispensing adalah 150 %. Jika umumnya dalam 1 hari dokter menerima pasien 10 orang maka total keuntungan pasien dari dispensing adalah sebesar Rp. 150.000,00-. Maka dalam setahun, keuntungan dokter tersebut sebesar Rp. 46.800.000,00-. Pada daerah yang terdapat apotek, dispensing tidak termasuk dalam pekerjaan dokter, sehingga dokter dispensing menyebabkan negara mengalami kerugian akibat tidak dibayarkannya pajak penghasilan dari dispensing obat oleh dokter. Pada contoh tersebut, negara kehilangan pajak sebesar Rp. 4.680.000,00-.

Jika pasien mendapatkan resep seperti di atas dan pergi ke apotek untuk membeli obat generiknya, pasien mendapatkan obat dengan harga yang lebih murah untuk penurun panas (parasetamol) dan antibiotik (amoksisilin) yaitu sekitar Rp 5.000,00-. Jika ditambahkan dengan biaya pemeriksaan pasien hanya membayar sebesar Rp 30.000,00-. Sehingga pasien dapat menghemat uang sebesar Rp 20.000. Jadi sebenarnya paradigma yang menyatakan fenomena dokter dispensing dapat mempermurah harga obat itu merupakan hal yang tidak benar.

Adanya fenomena ini juga menyebabkan pasien kehilangan haknya untuk mendapatkan asuhan kefarmasian. Tanpa adanya asuhan kefarmasian, tidak ada sistem yang mengelola dan memonitor dampak obat secara efektif. Pasien juga kehilangan haknya untuk mendapatkan informasi dan mendapatkan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan asuhan kefarmasian yang berperan dalam pencegahan kesalahgunaan obat (drug misuse), penggunaan obat yang berlebih (drug overuse), penyalahgunaan obat (drug abuse), dan efek-efek obat yang tidak diinginkan.

Untuk mengatasi fenomena dokter dispensing dibutuhkan suatu pembentukan aturan yang baru untuk mengatur secara jelas terkait batasan tugas dan wewenang tiap-tiap tenaga kesehatan dalam suatu aturan yang khusus dann terperinci, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang keliru dari berbagai pihak. Kurangnya pengetahuan aparat menyebabkan tidak terdeteksinya pelanggaran ini sehingga perlu dilakukannya seminar tentang hukum kesehatan secara intensif kepada para aparat penegak hukum. Apoteker juga diharapkan untuk selalu ada di apotek karena ketidakhadiran apoteker akan terus menjadi alasan bagi tenaga medis untuk tetap melaksanakan penyerahan obat akibat kurang berperannya apoteker di apotek dalam memberikan informasi obat pada pasien. Bagi pihak yang melanggar ketentuan, patut diberi sanksi, berupa sanksi administratif yakni sanksi berupa teguran sampai dengan pencabutan izin praktik atau usaha.

Swamedikasi Obat Keras oleh Apoteker, belum punya basis hukum

byI GDE MURRYASTIKA, I MADE ADI SUMANJAYA, dan I M.A.G. WIRASUTA

Pelayanan obat non resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi. Swamedikasi sendiri bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan secara tepat, aman, dan rasional. Oleh sebab itu peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan pengobatan sendiri. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas terbatas (OBT) dan obat bebas (OB).

Dalam prakteknya, apoteker sering menyalahgunakan haknya dengan melakukan swamedikasi obat keras non OWA. Salah satu yang sering dijual adalah obat-obatan antibiotik. Apoteker dan masyarakat sendiri beranggapan antibiotik merupakan obat yang sudah lumrah dan aman-aman saja dikonsumsi, meskipun tanpa resep dokter. Padahal dalam kemasan antibiotik itu sendiri sudah jelas terlihat tanda huruk K dalam lingkaran merah yang menandakkan itu merupakan obat keras yang tidak boleh diperjualbelikan dengan bebas. Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter, memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang mengandung hormon (obat diabetes, obat penenang, dan lain-lain). Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan mematikan.

Hal ini akan menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan penggunaannya. Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi tanpa memperhatikan untung semata.

Dilihat dari segi hukum, pemerintah sudah dengan jelas embuat berbagai peraturan dimulai dari Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Pemerintah hingga Undang-undang untuk mengatur penyerahan obat yang dapat diserahkan tanpa resep. Peraturan Menteri Kesehatan No: 919/MENKES/PER/X/1993 tentang obat yang dapat diserahkan tanpa resep. Dalam Peraturan tersebut jelas disebutkan pada pasal 2, kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep diantaranya; tidak dikontraindikasikan penggunaanya pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun, pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit, penggunaanya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, penggunaanya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di indonesia dan obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Untuk memantapkan dan menegaskan pelayanan swamedikasi, pemerintah juga menetapkan jenis obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dengan membuat beberapa SK diantaranya: SK Menteri No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang obat wajib apotek. Obat-obat yang terdaftar pada lampiran SK tersebut digolongkan menjadi obat wajib apotek No. 1 yang selanjutnya disebut OWA No. 1. Karena perkembangan bidang farmasi yang menyangkut khasiat dan keamanan obat maka dipandang perlu untuk ditetapkan daftar OWA No.2 sebagai revisi dari daftar OWA sebelumnya. Daftar OWA No. 2 ini kemudian dilampirkan pada keputusan menteri kesehatan No. 924/MENKES/PER/X/1993. Dari peraturan di atas dengan jelas diterangkan bahwa seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras tanpa resep dokter atau swamedikasi obat keras apabila obat yang diserahkan merupakan obat keras yang termasuk dalam OWA.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian merupakan undang-undang terbaru di dunia kefarmasian yang mengatur pekerjaan kefarmasian yang dibenarkan oleh hukum. Tujuan pemerintah membuat UU ini salah satunya adalah untuk memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian. Melihat apa yang terjadi di lapangan tentunya Apotek telah lalai dalam menerapkan UU ini. Penyerahan obat keras tanpa resep seperti halnya antibiotik tentunya telah melanggar aturan pemerintah dalam upaya melindungi pasien dalam memperoleh sediaan kefarmasian.

Dalam PP 51 tahun 2009 pasal 24 huruf c, dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan. Secara tidak langsung pada pasal ini dijelaskan seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras dengan resep dokter. Swamedikasi obat keras non OWA di apotek dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran hukum PP 51 th 2009..

Pelanggaran hukum yang dilakukan tidak hanya sebatas pada PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, tetapi juga terhadap Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Praktek swamedikasi obat keras akan bertetangan dengan hukum diatas, jika tidak dilakukan oleh apoteker di apotek yang dibenarkan oleh peraturan hukum yang berlaku di Indonesia hanya swamedikasi obat keras yang termasuk Obat Wajib Apotek.

Lalu kenapa hal ini masih kerap terjadi?. Dalam UU kesehatan terbaru tahun 2009 disebutkan pemrintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran ssediaan farmasi. Namun apakah semua itu salah pemrintah?. Sebagai masyarakat sudah hendaknya kita lebih cerdas dalam membeli dan menerima sesuatu. Kita hendaknya mengetahui obat-obatan yang mana yang memang dapat dibeli dengan bebas di Apotek dan mana yang tidak. Jika memang melanggar hukum, sudah seharusnya kita melaporkan hal tersebut ke pihak yang berwenang, misalnya ke BPOM. Sehingga peran aktif masyarakat dalam penegakan hukum sangat diperlukan.

Diperlukan landasan hukum yang kuat bagi apoteker dalam pelayanan praktek swamedikasi, terutama dengan menggunakan obat G. Sebaiknya apoteker jangan terjebak dengan prescribing dengan ketentuan swamedikasi, atau OWA. Prescribing atau peresepan adalah kompetensi dokter. Kita hendak menjungjung tinggi pemisahan pekerjaan kefarmasian dan kedokteran yang telah dipraktekan oleh si Kembar Damian dan Cosmain, dan sejak raja Frederick-Hanover di Jerman pekerjaan ini telah dipisahkan berdasarkan ketentuan UU.